12 Agustus 2010

Parlemen Burung " Attar " (3)

by Abdul Hadi Wm.


Meena Natarajan’s adaptation of the 12th century Sufi poem written by Farid-ud-Din Attar, CONFERENCE OF THE BIRDS is metaphorically maps out the journey of the human spirit in its quest for truth.The birds of the world take flight on a pilgrimage to find their celebrated king but the dangers and hardships encountered on the journey cause many of them to abandon their search. In the end the small number of birds that survive uncover a profound secret.



Burung-burung yang tak berdaya menyerupai ayam sekarat itu kemudian merasa putus asa. Demikian lama mereka menunggu jawaban. Tiba-tiba dalam sekejap mata pintu pun terbuka dan muncullah sang pengawal istana. Dipandangnya burung-burung itu, jumlah mereka tinggal tiga puluh ekor dari ribuan yang bersama-sama melakukan perjalanan. Pengawal berkata, “Dari manakah kalian datang, o burung-burung? Apa yang kalian lakukan di sini? Siapa saja nama kalian? Betapa sengsaranya kalian, di manakah rumah kalian? Apa yang bisa kalian kerjakan sebagai makhluk yang lemah di tempat ini?”
“Kami datang kemari”, ujar mereka “untuk menghadap raja kami Simurgh. Karena begitu rindu dan cintanya kami kepada baginda, beginilah akhirnya kami kebingungan dan pusing. Dulu ketika kami berangkat jumlah kami ribuan, dan kini kami hanya tinggal tiga puluh ekor. Kami tak yakin raja kami akan memperlakukan kami penuh penghinaan seperti ini, karena perjalanan yang kami tempuh demikian sukar dan penuh penderitaan.

Judul berbeda untuk cerita yang sama. Bukit Qaf tempat tinggal Simurgh, raja burung.

“Oh, tidak! Baginda harus menyambut dan menerima kami dengan penuh kasih sayang!” Pengawal menjawab, “O, burung-burung yang kebingungan dan kesulitan, apakah kau ada atau tidak, raja tetap ada dan abadi. Ribuan makhluk di dunia tak lebih dari semut di depan gapuranya, apalagi kalian. Kalian kemari tak membawa sesuatu apa pun, kecuali ratap tangis dan sedu sedan. Kembali sajalah kalian ke tempat kalian datang, o makhluk yang hina dina!”
Mendengar itu mereka terkulai dan heran. Setelah berpikir, mereka berkata lagi, “Apakah baginda akan menolak kami seraya menghina? Dan bilamana demikian memang sikap baginda, tak mungkinkah penghinaannya berubah jadi penghormatan?

Sejauh-jauh perjalanan hidup unggas Pingguin selain tak bisa terbang, siklus alam membatasi.

Majnun pernah berkata “Bila seluruh umat manusia di bumi ini menyanyikan puji-pujian bagiku, takkan kuterima; aku lebih suka penghinaan Leila. Sebuah penghinaan yang diberikan Leila bagiku jauh lebih baik dari ribuan pujian dari perempuan yang lain.”
“Cahaya kebesarannya telah tersingkap,” ujar sang pengawal. “Dan semua nyawa akan hangus. Bila roh sirna oleh ratusan dukacita, pahala apa yang akan diperoleh? Anugerah apa yang akan kalian terima dalam sekejap ini?” Terbakar oleh api cinta burung-burung itu berkata, “Bagaimana laron bisa mengelak dari nyala lilin apabila dia ingin menyatu dengan cahaya lilin? Sahabat yang kami cari pasti membuat kami senang bilamana kami dikabulkan berkumpul dengannya. Bila kini kami ditolak buat berjumpa, apalagi yang harus kami lakukan? Kami laksana laron yang ingin menyatu dengan nyala lilin. Kami mohon bukan lantaran dungu, karena tujuan kami adalah mensucikan diri, dan kami yakin ucapan kami ini akan membuat hatinya senang serta berterima kasih.

Bukankah baginda telah berkata, barangsiapa yang menyerahkan seluruh hatinya pada nyala apinya, takkan ada kesulitan merintangi dirinya?” Setelah pengawal selesai menguji ketabahan mereka, kemudian pintu terbuka. Sesaat mereka menyingkir ke samping. Kemudian seratus tabir satu persatu tersingkap, dan jelaslah tampak dunia baru terhampar di hadapan mereka.

Lukisan Persia abad ke 17, simbolisasi sufistik Attar: Bukit Qaf persemayaman Simurgh, pohon meranggas, liak-liuk sapuan kuas berherak dinamis, gaya ekspresionis, cahaya dan panas muncul dari api yang bergelora dengan intensitas warna tinggi ditingkah oleh warna-warni “picturesque”, bulu burung. Makna keceriaan setelah habis “terbakar”.

Cahaya dari segala cahaya bersinar terang dan duduklah mereka semua seraya tunduk di hadirat baginda yang mulia. Mereka memperoleh kalam buat mereka baca; dan setelah mereka membaca dan merenunginya dalam-dalam, barulah mereka paham keadaan yang sebenarnya. Hati mereka tenang dan damai, lepas dari segala kesulitan, dan setelah itu barulah mereka menyadari bahwa Simurgh tinggal bersama mereka. Kehidupan baru bersama Simurgh telah mereka kecap. Seluruh amal dan perbuatan mereka selama ini lenyap tak berbekas. Matahari kebesaran sang raja memancarkan sinarnya yang gilang-gemilang, dan tiap sinar memantulkan wajah mereka tiga puluh ekor banyaknya (= si-murgh) dari dunia luar yang telah terserap Simurgh yang bersemayam dalam diri mereka. Mereka merasa takjub, karena sebelumnya mereka tak menyangka bahwa mereka akan tetap sebagai diri mereka.

Hutan tropis, surga burung-burung tropis
Corak Batik Madura, mengusung pandangan hidup Sufi, lewat unsur stilasi bentuk Simurgh.

Akhirnya ketika mereka merenungi dalam-dalam, tahulah mereka bahwa merekalah Simurgh itu sendiri dan bahwa Simurgh artinya tiga puluh ekor burung. Ketika mereka menatap Simurgh mereka lihat bahwa Simurgh benar-benar yang ada dihadapan mereka, dan bilamana mereka mengalihkan mata, mereka sendiri adalah Simurgh. Dan bilamana keduanya saling memandang, diri mereka dan Dia, tahulah mereka bahwa mereka dan Simurgh adalah satu dan wujud yang sama jua. Hal ini tak pernah mereka dengar sebelumnya. Kemudian mereka tafakkur dan tak lama sesudah itu mereka mohon kepada Simurgh tanpa menggunakan lidah, agar mewahyukan kepada mereka rahasia kesatuan dan kepelbagaian wujud. Simurgh, pun tanpa mengucapkan sepatah kata, menjawab:

Burung-burung saling bercermin diri.

“Matahari kebesaranku adalah sebuah cermin. Dia yang melihat dirinya sendiri akan melihat jiwa dan tubuhnya, dan akan melihatnya dengan sempurna. Karna kalian datang sebanyak tigapuluh ekor, si-murgh, maka kalian akan melihat tigapuluh ekor burung dalam cermin ini. Bila empat puluh atau lima puluh ekor yang datang, yang akan kau lihat sama. Walaupun sekarang kalian benar-benar mengalami perubahan, kalian lihat diri kalian sendiri tetap sebagaimana diri kalian sebelum ini. “Dapatkah penglihatan seekor semut mencapai bintang Soraya yang jauh? Dapatkah serangga kecil ini mengangkat tempat pijaknya? Pernah kau lihat seekor nyamuk mengangkat seekor gajah dengan giginya?

Segala yang kau ketahui, segala yang telah kau lihat, segala yang telah kau sebut atau kau dengar, semua ini bukan itu lagi. Bilamana kalian telah menyeberangi lembah jalan kerohanian dan bilamana kalian telah memenuhi kewajiban dengan baik, maka kalian akan menjadi seperti ini berkat tindakanku; dan kalian sanggup melihat lembah hakikat dan kesempurnaanku. Kalian, yang jumlahnya tiga puluh ekor, takjub, tercengang dan kagum. Tetapi aku lebih dari tiga puluh ekor burung itu. Aku adalah hakekat yang sesungguhnya dari Simurgh yang sebenarnya. Leburkan diri kalian dengan bangga dan penuh sukacita ke dalam aku, dan di dalam aku kalian akan menemukan diri kalian.”
Setelah itu burung-burung itupun sirna buat selama-lamanya di dalam Simurgh – bayang-bayangnya musnah ditelan sang matahari, dan khatam. Apa yang kau dengar semua ini atau apa yang kau lihat dan kau ketahui bukan awal dari segala yang harus kau ketahui, dan puing-puing kehidupan di dunia ini bukanlah tempat tinggal yang harus kau rindukan.

Carilah batang pohon, dan jangan khawatir apakah cabang-cabangnya itu ada atau tidak. Ribuan generasi telah lewat. Burung-burung yang baka telah pasrah meleburkan dirinya dalam kefanaan. Tak seorang pun, tua atau muda, bisa menguraikan dengan tepat apa yang disebut baka dan mati itu. Seperti bilamana segala peristiwa jauh dari mata kita, bagaimana mungkin kita menguraikannya? Bila pembaca ingin penjelasan lebih jauh dengan amsal-amsal mengenai kebakaan yang terjadi setelah fana, aku akan menulis buku yang lain. Selama kita terbelenggu oleh benda-benda dunia, kita takkan sampai ke Jalan itu. Namun bilamana dunia tak lagi membelenggu, kau akan sampai seakan-akan memasuki dunia mimpi, dan akhirnya akan tahu bahwa kau mendapatkan rahmat yang tak terkira. Janin insan terpelihara dengan baik hanya oleh cinta dan kasih sayang sehingga kelak bisa menjadi orang yang pandai dan saleh.

Farid-ud-Din Attar (1142-1230) sastrawan
Sufi Persia masa Dinasti Khawarizmi (1170 – 1231). Di kota Nishapur, Iran ada patung kepalanya yang terlihat dirangkul burung.

Pengetahuan inilah yang harus dituntut orang. Kemudian ajal datang dan segala yang kau miliki lenyap, tenggelam. Sehabis itu kau jadi debu jalanan. Berkali-kali seseorang itu fana; tapi bila orang berhasil mengetahui rahasia-rahasia kehidupan yang hakiki, akhirnya ia akan menerima kebakaan, dan akan mendapatkan kehormatan dalam keadaan hina. Tahukan kau apa yang kau miliki? Masuklah ke dalam dirimu dan bercerminlah! Selama kau tak paham akan ketiadaanmu, dan selama kau tak menyadari kebanggaan semu, kesombongan dan cintamu yang berlebih-lebihan pada dirimu sendiri, selama itu pula kau takkan mencapai puncak kebakaan. Di Jalan itu kau akan terjerumus dalam kehinaan, namun kemudian kau akan bangun dengan dipenuhi kemuliaan dan kehormatan. (Selesai).

Parlemen Burung " Attar " (2)

oleh : Abdul Hadi. W.M

Adikarya tasawuf Fariduddin Attar (1142-1230) Sufi asal Iran (Nishapur, Khorasan, Persia) diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia. Mendengar cerita Hudhud, burung-burung terpesona, ramailah mereka membicarakan keagungan sang raja. Terdorong oleh keinginan untuk menjumpai Simurgh, supaya kedaulatan kerajaan burung bisa ditegakkan kembali, mereka menjadi tak sabar untuk segera menghadap Simurgh. Akhirnya mereka memutuskan untuk pergi, berjanji satu sama lain saling bersahabat dan melawan diri masing-masing sebagai musuhnya. Namun ketika mereka sadar bahwa perjalanan yang akan ditempuh demikian panjang dan penuh derita, hati mereka pun bimbang. Sambil mengatakan bahwa mereka tak punya maksud buruk, dengan cara-cara masing-masing, mereka mengemukakan alasannya.
Burung Kenari berkata: “Ambil pelajaran dari nasib-ku. Manusia terpesona oleh warna bulu Simurgh, lalu badanku ini yang mereka kurung. Maka hidupku dilpenuhi sedih dan rindu, padahal buat terbang di bawah kepak sayap Simurgh saja aku tak sanggup!” Burung Merak menyahut: “Dulu aku hidup bersama Adam dan Hawa di sorga, namun aku ikut terusir bersama mereka. Keinginanku ialah pulang ke tempat asalku. Sebab itulah aku tak ingin bertualang mencari maharaja Simurgh.” Menyahut Unggas: “Aku telah biasa hidup dalam kesucian, berenang di air. Yang lain tak kurindukan lagi. Aku tak sanggup keluar dari genangan air, dan tak bisa hidup di tempat yang kering kerontang!” Lalu berkata Garuda: “Aku sudah biasa hidup senang di gunung. Bagaimana sanggup meninggalkan tempat semayam yg menyenangkan?” Kemudian burung Gelatik menyambung: “Aku hanya seekor burung mungil dan lemah. Takkan mungkin sanggup mngembara sejauh itu.” Menyahut pula burung Elang: “Saudara-saudaraku, kalian semua tahu, kedudukanku tinggi sekali di sisi raja? Mana mungkin aku meninggalkan kedudukan semulia itu?”

Seekor burung yang lain berkata: “O Hudhud karena kau lebih mengetahui jalan menuju tempat raja yang kau ceritakan itu, dan kau yang menginginkan kami menyertaimu, sedang bagi kami jalan itu gelap gulita, sebaiknya kau sendirilah yang pergi. Dalam kegelapan semacam itu, apalagi banyak sekali bahaya yang mengancam sepanjang perjalanan, pasti kami tak bisa menyertai perjalananmu menghadap raja.” Mendengar apa yang dikatakan burung-burung itu, Hudhud berkata:

Keluh-kesah burung, keberatan meninggalkan kesenangan hidup yang ada demi kesepakatan cita-cita tinggi untuk mencari seorang raja.

Ingat, aku tak boleh lalai menyampaikan nasihatku yang baik kepada kalian semua. Niatku suci. Apa yang menyebabkan kalian semua mencari alasan yang bermacam-macam, apakah hanya karena terbiasa hidup enak? Dan mengapa harus kita biarkan terlantar cita-cita kita yang suci ini karena terikat kesenangan? Azam yang kuat dan hati yang teguh serta sabar, akan memusnahkan segala kesulitan dan menjadikan dekat segala yang jauh.”
Mendengar jawaban Hudhud, bertanyalah seekor burung : “Dengan cara bagaimana dan melalui jalan apa saja agar kita sampai ke tempat yang jauh dan sulit itu? Dengan perlengkapan apa kita sampai ke istana ‘maharaja Simurgh?” Hudhud menjawab:
“Kita harus menyeberangi tujuh lembah, baru sampai di tempat maharaja Simurgh. Tak ada yang bisa lagi kembali ke dunia bilamana telah menempuh perjalanan yang maha jauh itu, dan mustahil pula kita bisa menyebutkan berapa banyak rintangan yang akan kita temui. Sabarlah, bertaqwalah kepada Tuhan, karena bila kalian telah sanggup menempuh perjalanan itu kalian akan tetap berada dalam diri kalian buat selama-lamanya.”

“Lembah pertama adalah Lembah Pencarian, kedua Lembah Cinta, ketiga Lembah Pemahaman, keempat Lembah Kebebasan dan Kelepasan, kelima Lembah Kesatuan Sejati, keenam Lembah Ketakjuban dan ketujuh Lembah Kefakiran dan Kefanaan. Di balik itu tak ada lagi apa-apa.”
Mendengar petunjuk yang diberikan Hudhud ini kepala burung-burung tunduk terkulai, dan rasa pilu mulai menekan hati mereka. Sekarang mereka mengerti betapa sukarnya perjalanan itu. Lebih-lebih bagi makhluk seperti mereka yang kecil tak berarti bagaikan busur yang mudah patah bila ditarik terlalu kencang. Mereka diliputi bayangan ajal yang akan mereka temui. Namun burung-burung yang lain, tanpa mengacuhkan penderitaan yang akan mereka alami, akhirnya memutuskan untuk segera berangkat mengarungi jalan yang mahapanjang itu.

Bentuk Simurgh dibayangkan berupa burung Phoenix (Eropa), Anqa (Arab), Hong (Cina) dan Pingai (Melayu).

Bertahun-tahun lamanya mereka mengarungi gunung dan lembah, dan sebagian besar dari umur mereka dihabiskan dalam perjalanan. Bagaimana mungkin menceritakan seluruh peristiwa yang mereka alami, tanpa mengikuti perjalanan mereka dan melihat dengan mata kepala sendiri kesulitan yang dihadapi burung-burung itu? Marilah kita ikuti perjalanan jauh mereka untuk mengetahuinya. Pada akhirnya cuma sedikit dari mereka itu yang benar-benar sampai ke tempat yang teramat mulia itu di mana Simurgh membangun mahligainya. Dari ribuan burung yang pergi, hampir semuanya sirna dan lenyap. Banyak yang hilang di lautan; ada yang mendapat kecelakaan di puncak gunung yang tinggi, ada yang dibunuh rasa haus yang tak tertahankan; yang lain sayapnya hangus dan hatinya kering terbakar matahari; sedang yang lain lagi mampus diterkam harimau dan macan tutul; yang lain lagi mati karena teramat lelah di gurun dan hutan yang buas, bibir mereka semuanya kering, pecah-pecah dan tubuh mereka ludes di telan panas.

Beberapa lagi menjadi gila dan saling membunuh satu sama lain memperebutkan butir-butir padi atau jagung; lunglai oleh derita dan kepayahan, terkapar di jalan, tak sanggup terbang lebih jauh lagi; yang lain kebingungan dan silau melihat benda bermacam-macam yang memikat mata, berhenti di tempat mereka melihat benda itu, terkena bius; banyak pula yang terhenti karena godaan keinginan buat mengecap berbagai kepuasan badaniah, sehingga lupa pada cita-cita semula yang luhur, yaitu menemui raja. Maka di luar ribuan burung yang sirna, tinggallah cuma ….t.i.g.a… p.u.l.u.h…e.k.o .r…. yang berhasil menempuh perjalanan. Dan walaupun mereka sampai juga, mereka masih bimbang, takut dan padam semangatnya, tanpa bulu dan sayap sehelai pun yang tinggal.

Simurgh dalam pencitraan patung kontemporer berdasarkan lukisan Persia abad ke 14

Kini mereka berdiri di muka gapura istana Simurgh yang tak terlukiskan dan tak terpahami hakekatnya. Itulah Wujud yang tak dapat dicerna akal maupun pengetahuan. Kemudian sinar kepuasan menyala terang di hadapan mereka, dan ratusan kehidupan sirna dalam sekejap mata tersiram oleh cahaya-Nya. Setelah itu mereka melihat ribuan matahari, sinarnya berbeda satu sama lain, beribu-ribu bulan dan bintang yang indah permai, dan semua yang mereka lihat itu membuat mereka merasa takjub dan terpesona bagaikan pusaran atom.

Serentak mereka berseru: “O, Kau yang lebih gemilang dari Surya! Matahari padam oleh sinar-Mu dan menjelma atom, bagaimana pulakah dengan kami yang kecil ini? Jauh dan penuh derita perjalanan yang telah kami tempuh, adakah kami akan sia-sia? Kami telah meninggalkan diri kami dan bebas dari belenggu benda-benda dunia, akan gagalkah kami bertemu raja kami? Betapa kecilnya kami di sini dan tak tahu apakah kami ini ada atau tidak.”

http://www.facebook.com/#!/notes/abdul-hadi-wm/ringkasan-parlemen-burung-attar/350609138872

“Parlemen Burung ” Attar (1)

by Abdul Hadi Wm


dibuat sebagai Catatan Ringkasan oleh Beryl C. Syamwil pada FB pada 04 Maret 2010 jam 17:26
Mantiq al Tayr, artinya Musyawarah, Konperensi (disini) Parlemen Burung. Segenap burung dari seluruh dunia, yang dikenal maupun tidak, suatu ketika berkumpul. Mereka mengeluh, “Di dunia ini tak ada negeri yang tak memiliki raja. Bagaimana kerajaan burung bisa tak memiliki raja seorang pun sampai sekarang? Keadaan ini tak bisa kita biarkan berlangsung terus. Kita harus bersama-sama berusaha dan pergi mencari seorang raja, karena tak adalah negeri yang pemerintahannya baik dan teratur rapi tanpa seorang raja. Mereka pun mulai bersidang untuk memecahkan persoalan itu. Burung Hudhud demikian tertarik dan dengan penuh harapan majulah ia ke depan, mengambil tempat di tengah-tengah sidang para burung itu. Sebuah hiasan terpampang di dadanya, menandakan bahwa ia telah menguasai jalan ilmu pengetahuan rohani; jambul di kepalanya adalah mahkota kebenaran, ia pun telah menguasai pengetahuan baik dan buruk.
Fariduddin Abu Hamid Muhammad bin Ibrahim (1142 – 1230 M) atau Fariduddin al-Attar, Attar (= ahli farmasi dan parfum) jadi nama pena.

“Saudaraku para burung sekalian,” berkata Hudhud. “Aku adalah salah seorang di antara mereka yang telah mengecap rahmat Tuhan. Aku adalah utusan dari alam gaib. Aku memiliki pengetahuan Ketuhanan dan rahasia makhluk-makhluk-Nya. Bila ada burung seperti aku dengan paruh bertanda nama Tuhan, Bismillah, pantaslah burung seperti itu kalian ikuti karena orang harus mempunyai pengetahuan yang luas mengenai rahasia-rahasia yang gaib. Namun hari-hari bersliweran tak putus-putus, dan aku tak bersangkut paut lagi dengan apa pun dan siapa pun. Seluruh diriku telah diliputi oleh cinta kepada Baginda Raja. Aku bisa mendapatkan air dengan naluriku, dan begitu banyak rahasia kehidupan lain telah kuketahui.

Aku telah bercakap-cakap dengan nabi Sulaiman, beserta pengikut-pengikutnya yang utama. Yang mengherankan ialah biasanya dia tak pernah berta-nya dan tak pernah ingat lagi kepada siapa saja yang pernah mengunjungi istananya, namun kepadaku sehari saja aku jauh dari sisinya dikirimnya utusan ke mana-mana untuk mencariku, sehingga kemuliaanku tak pernah berkurang karenanya. Akulah yang mengirimkan surat-suratnya, dan aku pulalah sahabatnya yang paling setia.

Attar hidup di Nishapur, Khorasan, Persia (Iran) masa Dinasti Khawarizmi (1107-1231)

“Burung yang telah dimuliakan oleh sang nabi dan memperoleh anugerah mahkota di atas kepalanya. Dapatkah burung yang bisa bercakap-cakap seperti itu rontok bulu-bulunya dalam debu? Bertahun-tahun lamanya sudah aku menjelajahi lautan dan daratan, mengarungi puncak gunung dan dasar lembah. Aku sanggup menerobos ruang yang sesak dilanda banjir dahsyat. Aku senantiasa mengiringi nabi Sulaiman setiap kali dia bepergian dan aku telah mengenal batas-batas dunia. Aku kenal raja itu dengan baik, tetapi aku tidak bisa terbang sendiri menemuinya. Bebaskan dirimu dari rasa malu, sombong dan ingkar. Dia pasti bisa melimpahkan cahaya bagi mereka yang sanggup melepaskan belenggu diri sendiri; yaitu mereka yang akan bebas dari baik dan buruk karena berada di jalan kekasihnya. Bermurah hatilah sepanjang hidupmu.”

“Sekarang angkat kakimu dari bumi, terbanglah dengan gembira menuju istana sang raja. Namanya Simurgh. Dia adalah raja diraja sekalian burung. Dan dia dekat kepada kita, namun kita jauh darinya. Tempat semayamnya sukar sekali dicapai, tak ada lidah yang sanggup menyebut namanya. Di hadapan baginda bergantungan ratusan ribu benang sinar terang dan gelap, di dalam dunia fana maupun baka tak seorang pun yang dapat menaklukkan kerajaannya. Dialah raja yang berdaulat dan mandi kesempurnaan. Dia tak pernah memperlihatkan seluruh dirinya, juga di tempatnya bersemayam. Karena itu tak ada pengetahuan atau kepandaian yang bisa mengetahuinya. Jalan itu tiada dikenal, dan tak seorang pun memiliki kesabaran yang cukup buat menjumpainya. Walaupun begitu ribuan makhluk senantiasa merindukannya selama mereka hidup. Pun jiwa yang paling murni tak dapat menguraikannya, pikiran pun tak dapat menggambarkan: kedua alat penglihatan kita buta di hadapannya. Kearifan tak dapat mencapai kesempurnaannya dan manusia yang paham pun tak mampu melihat keindahannya. Seluruh makhluk ingin mencapai kesempurnaan dan keindahan ini melalui khayalnya. Tapi bagaimana kau bisa menjejakkan kaki di jalan itu dengan pikiran? Bagaimana kau bisa mengukur bulan dengan ikan? Demikianlah telah beribu-ribu kepala bolak-balik pergi kesana, seperti bola yg berputar-putar di lapangan, hanya ratap tangis rindu mereka yang terdengar.

Simurgh disebut Phoenix (Eropa), Anqa (Arab) Hong (Tiongkok), Pingai (Melayu). Lukisan Iran abad 20 berdasarkan lukisan Persia abad 14. Melalui penyebaran sastra sufi Melayu, terutama karya-karya Hamzah Fansuri, stilasi bentuk ini sering muncul pada seni ukir dan ragm hias batik dari berbagai pelosok Nusantara.
Simurgh dalam lukisan Persia.
Beribu daratan dan lautan terbentang sepanjang perjalanan menuju tempatnya. Jangan bayangkan perjalanan ini singkat; orang harus memiliki hati singa untuk dapat menempuh jalan yang luar biasa panjang dan lautnya rancam serta dalam pula. Kau harus berusaha sekuat tenaga, disertai senyum dan sesekali menangislah tersedu-sedu Seperti aku, menemukan jejaknya saja sudah merasa bahagia. Jejaknya sangat berarti, dan hidup tanpa dia akan menyebabkan kita diliputi sesal. Orang tak boleh menyembunyikan jiwanya dari kekasihnya, dia harus menjaga dirinya baik-baik agar jiwanya dapat dibawa menuju istana sang raja. Bersihkan tanganmu dari kotoran hidup ini bila kau ingin disebut orang yang beramal. Panggillah kekasihmu sebagai orang yang mulia. Bila kau patuh dan tunduk kepadanya, dia akan memberikan seluruh hidupnya kepadamu.”
Sadar atau tidak, para pembatik Madura mewarisi bentuk stilasi Simurgh yg abstrak.

“Dengar! Ada lagi yang mentakjubkan. Pada mulanya Simurg terbang pada malam hari di tengah gelap gulita di negeri Cina. Selembar bulunya jatuh di situ, hingga seluruh dunia tercengang melihat keindahan-
nya. Orang-orang mulai menggambar bulunya yang indah itu, dan dari gambar bulunya itulah tersusun berbagai sistem pemikiran, sehingga akhirnya kacau-
balau karena begitu banyak. Bulu Simurgh yang jatuh itu sekarang masih tersimpan di negeri itu. Itulah sebabnya hadith nabi mengatakan: “Carilah ilmu pengetahuan sampai ke negeri Cina sekalipun.”

Ekor terurai Simurgh pada ragam hias Batik Madura. Juga pada Batik Jawa, Jambi dll.
Stilasi Simurgh pada Batik Putihan Madura.

“Namun demikian pemunculan Simurgh yang pertama kali tidaklah begitu membingungkan dibanding Wujudnya yang rahasia. Tanda perwujudan ini merupakan lambang kebesaran. Seluruh makhluk yang bernyawa di dunia ini pasti memancarkan bayang-bayangnya. Oleh sebab dalam pemunculan yang pertama kali tanpa ekor maupun kepala, tanpa ujung dan pangkal, maka tak perlulah kiranya kuceritakan lebih banyak mengenai dia. Sekarang, bersiap-siaplah kalian untuk mengarungi Jalan menuju istananya!”