06 Oktober 2010

Kisah perjalanan seekor kupu-kupu : Episode 3 - Kupu-kupu muda mengepakkan sayapnya untuk pertama kalinya

Oleh : Imam Sardjono

Di bukit itu, masih terlihat lelaki paruh baya disana, namun kali ini tengah duduk dalam diam yang dalam, dlam ketenangan, tak dihiraukannya suasana alam sekitar, cuaca, atau orang yang kadang berlalu lalang. Suara burung bahkan panasnya matahari yang terasa mulai sedikit menyengat tak mampu mengusiknya. Begitu tertarik dan terpesoana akan sesuatu, sehingga pandangannya tak pernah beranjak dari satu titik yang berada beberapa meter jauhnya dari tempat duduknya. Entah sudah berapa lama dia disana. apakah dia tak ada pekerjaan lain selain datang disini dan duduk diam saja, mungkin hanya dia sendiri yang tahu jawabannya.

Matanya tajam, menatap ke satu titik, titik kecil di ujung dahan, bergantung, tertiup angin, bergoyang, ke kanan, ke kiri, berayun-ayun seolah sangat lemah, namun tetap kokoh tak tergoyahkan. Kepompong, yang sepertinya dalam dunianya yang terasing, sendiri, dan hanya menggantungkan sluruh bobot tubuhnya di ujung seutas benang, digoyang angin, dihantam hujan. Dalam perjuangan.

Telah cukup lama dia menatap kepompong itu, entah sudah berapa lama, tak diketahuinya, hanya dirasakannya cuaca yang terasa sejuk di pagi hari, mulai berubah panas, dan menyengat dan kini bahkan berubah sejuk lagi. Ditatapnya terus kepompong yang sedang berusaha untuk keluar dari lubang kecil di ujungnya. Dia tahu nasib kepompong akan berubah, saat ini, apakah dia akan berhasil, ataukah gagal. Apakah akan mati ataukah berhasil menjadi seekor kupu-kupu.

Betapa ingin dia membantu membuka selubung kepompong itu. Menolongnya memberi jalan termudah agar keluar dengan segera, tapi dia tahu pasti bahwa itu justru akan membunuhnya. Dia tahu mengerti bahwa. perjuangan itu diperlukan oleh si ulat yang di dalam kepompong untuk membuang cairan di tubuhnya, sehingga mengecilkan tubuhnya dan juga untuk menumbuhkan dan menguatkan sayapnya agar mampu membawanya terbang nantinya.

Dalam diamnya, dalam kontemplasi, dia merasa. Bukankah kepompong itu seperti dirinya. Menyepi, sendiri, dalam perjuangan, mencari bentuk yang lebih baik. Semakin dilihatnya kepompong itu dalam perjuangan yang sangat berat, meronta dalam belitan serat-serat yang melibatnya, dengan perlahan, menerobos, lalu berhenti, terengah kelelahan, meronta lalu berusaha lagi untuk menerobos keluar untuk melepas belitan yang mengikatnya, dari sarang kepompongnya, dari belitan serat-serat yang mengikatnya erat sekali.

Dalam kesadarannya, kepompong itu adalah dirinya, meronta, berusaha melepas belitan yang begitu kuat mengikatnya, belitan masa lalu, kenangan, derita yang menyakitkan, aib yang memalukan, dosa-dosa yang dilakukannya, perbuatan yang tak layak dilakukan. Dalam dzikir, seolah dia mengejang, memberontak, melepaskan diri dari belitan kenangan itu, pedih pengalaman masa dulu, dan secara nyata tubuhnya merasakan, perih terasa, menyakitkan, sekuat tenaga, sepenuh kemampuan, dia tahu, tak akan ada seorangpun yang akan mampu membantu, perjuangan ini adalah perjuangan pribadi, kesakitan ini adalah kesakitan diri sendiri. Hanya diri sendiri yang mampu mengatasi.

Sampai di suatu titik puncak, kesadarannya menyerah, dia tak mampu lagi bergerak, dia tak mampu lagi berdaya, sekujur badannya sakit, seluruh tulang belulangnya terasa remuk. Badannya terkapar, demam, tenggorokannya terasa terjepit, membengkak. Dia tak mampu makan, minum, bahkan sulit berbicara. Terasa seluuh derita yang dialaminya masa lalu seolah bergabung menjadi satu dan harus dirasakan sekaligus, dia jatuh sakit.

Dia menyerah, dia pasrah, sepenuhnya, total atas kehendak Sang Penentu, kehendak Allah, apapun yang akan terjadi, akan diterima dengan senang hati, suka rela, pasrah, ikhlas, dalam diam, dalam termenung, memaafkan diri sendiri, memohon ampunan Allah.

Maka kedamaian mengalir di dada. Ketenangan menyelimuti seluruh tubuh. Dalam keheningan, dalam tafakur, dalam doa, dalam dzikir, dalam rasa menyembah sepenuhnya, pasrah, rela, ridho, ikhlas, mendadak terasa daging di bawah lidahnya yang sebelum ini membengkak besar pecah, berdarah, kemudian keluarlah sebutir benda, sebuah butiran yang keras seperti sebutir kacang kedelai.

Diambil dan diamatinya butiran itu. Sebutir benda agak kehijauan yang keluar dari daging di bawah lidahnya sebesar butiran kedelai. Butiran yang sangat keras, sekeras besi, dan sesuatu keanehan terjadi, begitu benda itu keluar, maka semua rasa sakit, demam dan derita yang dialaminya mendadak hilang tanpa bekas, seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Hanya darah yang masih mengalir di bawah lidahnya yang masih membuktikan bahwa kejadian itu adalah nyata, dia tadinya sakit agak parah.

Kupu-kupu itu telah keluar dari kepompongnya, melepaskan diri dari belitan dan ikatan benang di seluruh tubuhnya, siap untuk mengepakkan sayapnya terbang ke angkasa. Bentangan sayapnya lebar dan kuat mampu mengangkat tubuhnya dengan mudah. Tubuhnya ringan dan menyusut dengan hilangnya banyak cairan dan kotoran yang memberatkan tubuhnya. Terbanglah, hinggaplah di tempat-tempat yang baik. Meskipun sekali-sekali masih harus hinggap di tempat yang kumuh dan kotor, namun tak akan mengurangi keindahanmu.

Dalam termenung, dalam hening, diresapinya suatu pemahaman. Keberadaan insan yang menyemut mengitari perut bumi,. insan yang meminum segala bentuk zat,.cair, padat, wujud, tak berwujud,.hawa panas, dingin, hangat,.meleleh, kemudian membulat lagi begitu seterusnya,..sampai putaran bumi mengelilingi galaksi yang semakin tua dan pada masanya nanti akan selesai menjalankan tugas, adakah kepompong akan tahu, kapan ini akan usai dan dapat meretas dari ikatan rantai yang terbentuk atas kesadaran dirinya, dan atas kuasa penciptanya.

Dan berlari dengan cepat menghampiriNya, seolah ingin hatinya untuk mengimbangi kecepatan lari sang Pencipta pada dirinya, manakala dirinya membutuhkanNya, maka itulah yang dilihat: Allah selalu bergegas melakukan pertolongan, untuknya, hanya terkadang dirinya tidak menyadari itulah pertolongan untuk bisa lepas dari semua yang membelenggunya.

Menarik raga, mensucikannya dalam sebuah " kepompong " yang sangat kuat mengikat, membuai dengan kehangatan tapi terkadang membuat kesulitan bernafas, di dalam sana tidaklah semua dari kita bisa membentuk menjadi "sesuatu" , manakala hawa dingin dan panas menusuk, membanting tubuh kepompong yang sangat ringkih,.tipis, lemah karna selalu berpindah pindah letaknya terombang ambing oleh alam yang diciptakanNya untuk uji coba padanya, adakah kisaran waktu akan diberikan, adakah semua berujung pada cetakan yang sempurna ....terus berjalan...bergeser....melayang....namun ikatan tetap kuat menjaga, membentuk satu kesatuan, menyusun warna warni, memberi sentuhan pada tiap perubahan,..pembentukan bagian kepala...pusat yang akan menentukan terciptanya anggota-anggota raga lainnya dengan sempurna,..

Hingga Pencipta meniup ruh,.......ruh yang bersenyawa,.....ruh yang naik kelas,.....ruh yang sesungguhnya, ..bukan uji coba lagi,..kisah ini akan terus berlanjut, hingga ruh selesai bertugas dan membagikannya kepada kita,.menceritakan ulang,,.akan sebuah kisah sewaktu mengemban amanah dalam kegemilangan, setelah perjalanan yang sangat melelahkan tapi juga membahagiakan..

Dia kini telah berhasil memutus mata rantai yang mengungkungnya setelah sekian lama, hanya seorang diri, dalam jeritan kebisuan, rantai yang terputus bukan tidak mungkin menimbulkan bekas luka, goresan dan titik darah, merembes menembus dinding yang sangat lembut .....bernama kalbu ..maka aka diserapnya dengan ketebalan iman yang senantiasa diberikan tiada hentinya,.secara berlimpah oleh Allah kepada kita, agar luka lekas mengering dan tidak menimbulkan bekas

Sang kalbu yang terbasuh oleh kehangatan embun di pagi hari, dalam hitungan detik bermandikan cahaya yang menyusup ke jiwa,.raga, mulai mengeluarkan senyum ketenangan, syahdu, menimbulkan dentingan suara bak tetesan air yang mengalir membentuk irama bernotasi .... beriringan dengan degup jantung yang semakin kuat, .. tanda kesiapan menerima pelajaran baru.

Dia kini selalu berterima kasih kepada sang masa lalu yang kelabu yang mendekati warna hitam pekat yang karenanya memaksanya berusaha keras untuk dapat keluar dari jeratan sang gelap menjadi tokoh lakon prima di sang "masa kini", demikian kita belaja, dan mengambil hikmah dari semua pelajaran kehidupan di masa lalu.

Sesudah semua belenggu terurai dan lepas, maka tak ada lagi dia, tak ada lagi aku, semua menyatu, hilang, fana.
Seolah langit tersibak baginya, dunia menyambutnya, takdir demi takdir baru menghampirinya, sesuatu yang seolah secara logika sudah gagal, berhasil dicapainya. Suatu kejadian yang seharusnya akan membuatnya tersudut dan jatuh justru membuatnya bangkit dan kuat. Banyak kejadian demi kejadian yang seolah memberi tahu kepadanya. "Takdirnya telah ditulis ulang".

Suatu kesimpulan dari perenungannya dan menjadi suatu keyakinan kuat muncul dihatinya:

"Tuhan tidak akan mengubah nasibnya, kalau dia sendiri tidak mengubahnya".

Dia mulai membaca apa skenario Tuhan kepada dirinya. Maka diterima dan disambutnya takdirnya dengan tersenyum. Selamat datang takdir, kusambut kedatanganmu dengan tangan terbuka.
Mulailah dikembangkan sayap akhlaknya untuk menerbangkan tubuhnya ke arah tempat-tempat yang lebih baik. Insya Allah.

Kisah perjalanan kupu-kupu dalam mengikuti cahaya menuju cahaya diatas cahaya akan dimulai. Seekor kupu-kupu muda yang belum berpengalaman namun bertekad bulat untuk terus terbang dan terbang sekuat sayapnya mengepak, agar mampu menggapai cahaya di atas cahaya.

Perjalanan ini akan dilanjutkan dalam bagian selanjutnya.

Bersambung.

Episode 3 - Kupu-kupu muda mengepakkan sayapnya untuk pertama kalinya

Di bukit itu, masih terlihat lelaki paruh baya disana, namun kali ini tengah duduk dalam diam yang dalam, dlam ketenangan, tak dihiraukannya suasana alam sekitar, cuaca, atau orang yang kadang berlalu lalang. Suara burung bahkan panasnya matahari yang terasa mulai sedikit menyengat tak mampu mengusiknya. Begitu tertarik dan terpesoana akan sesuatu, sehingga pandangannya tak pernah beranjak dari satu titik yang berada beberapa meter jauhnya dari tempat duduknya. Entah sudah berapa lama dia disana. apakah dia tak ada pekerjaan lain selain datang disini dan duduk diam saja, mungkin hanya dia sendiri yang tahu jawabannya.

Matanya tajam, menatap ke satu titik, titik kecil di ujung dahan, bergantung, tertiup angin, bergoyang, ke kanan, ke kiri, berayun-ayun seolah sangat lemah, namun tetap kokoh tak tergoyahkan. Kepompong, yang sepertinya dalam dunianya yang terasing, sendiri, dan hanya menggantungkan sluruh bobot tubuhnya di ujung seutas benang, digoyang angin, dihantam hujan. Dalam perjuangan.

Telah cukup lama dia menatap kepompong itu, entah sudah berapa lama, tak diketahuinya, hanya dirasakannya cuaca yang terasa sejuk di pagi hari, mulai berubah panas, dan menyengat dan kini bahkan berubah sejuk lagi. Ditatapnya terus kepompong yang sedang berusaha untuk keluar dari lubang kecil di ujungnya. Dia tahu nasib kepompong akan berubah, saat ini, apakah dia akan berhasil, ataukah gagal. Apakah akan mati ataukah berhasil menjadi seekor kupu-kupu.

Betapa ingin dia membantu membuka selubung kepompong itu. Menolongnya memberi jalan termudah agar keluar dengan segera, tapi dia tahu pasti bahwa itu justru akan membunuhnya. Dia tahu mengerti bahwa. perjuangan itu diperlukan oleh si ulat yang di dalam kepompong untuk membuang cairan di tubuhnya, sehingga mengecilkan tubuhnya dan juga untuk menumbuhkan dan menguatkan sayapnya agar mampu membawanya terbang nantinya.

Dalam diamnya, dalam kontemplasi, dia merasa. Bukankah kepompong itu seperti dirinya. Menyepi, sendiri, dalam perjuangan, mencari bentuk yang lebih baik. Semakin dilihatnya kepompong itu dalam perjuangan yang sangat berat, meronta dalam belitan serat-serat yang melibatnya, dengan perlahan, menerobos, lalu berhenti, terengah kelelahan, meronta lalu berusaha lagi untuk menerobos keluar untuk melepas belitan yang mengikatnya, dari sarang kepompongnya, dari belitan serat-serat yang mengikatnya erat sekali.

Dalam kesadarannya, kepompong itu adalah dirinya, meronta, berusaha melepas belitan yang begitu kuat mengikatnya, belitan masa lalu, kenangan, derita yang menyakitkan, aib yang memalukan, dosa-dosa yang dilakukannya, perbuatan yang tak layak dilakukan. Dalam dzikir, seolah dia mengejang, memberontak, melepaskan diri dari belitan kenangan itu, pedih pengalaman masa dulu, dan secara nyata tubuhnya merasakan, perih terasa, menyakitkan, sekuat tenaga, sepenuh kemampuan, dia tahu, tak akan ada seorangpun yang akan mampu membantu, perjuangan ini adalah perjuangan pribadi, kesakitan ini adalah kesakitan diri sendiri. Hanya diri sendiri yang mampu mengatasi.

Sampai di suatu titik puncak, kesadarannya menyerah, dia tak mampu lagi bergerak, dia tak mampu lagi berdaya, sekujur badannya sakit, seluruh tulang belulangnya terasa remuk. Badannya terkapar, demam, tenggorokannya terasa terjepit, membengkak. Dia tak mampu makan, minum, bahkan sulit berbicara. Terasa seluuh derita yang dialaminya masa lalu seolah bergabung menjadi satu dan harus dirasakan sekaligus, dia jatuh sakit.

Dia menyerah, dia pasrah, sepenuhnya, total atas kehendak Sang Penentu, kehendak Allah, apapun yang akan terjadi, akan diterima dengan senang hati, suka rela, pasrah, ikhlas, dalam diam, dalam termenung, memaafkan diri sendiri, memohon ampunan Allah.

Maka kedamaian mengalir di dada. Ketenangan menyelimuti seluruh tubuh.
Dalam keheningan, dalam tafakur, dalam doa, dalam dzikir, dalam rasa menyembah sepenuhnya, pasrah, rela, ridho, ikhlas, mendadak terasa daging di bawah lidahnya yang sebelum ini membengkak besar pecah, berdarah, kemudian keluarlah sebutir benda, sebuah butiran yang keras seperti sebutir kacang kedelai.

Diambil dan diamatinya butiran itu. Sebutir benda agak kehijauan yang keluar dari daging di bawah lidahnya sebesar butiran kedelai. Butiran yang sangat keras, sekeras besi, dan sesuatu keanehan terjadi, begitu benda itu keluar, maka semua rasa sakit, demam dan derita yang dialaminya mendadak hilang tanpa bekas, seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Hanya darah yang masih mengalir di bawah lidahnya yang masih membuktikan bahwa kejadian itu adalah nyata, dia tadinya sakit agak parah.

Kupu-kupu itu telah keluar dari kepompongnya, melepaskan diri dari belitan dan ikatan benang di seluruh tubuhnya, siap untuk mengepakkan sayapnya terbang ke angkasa. Bentangan sayapnya lebar dan kuat mampu mengangkat tubuhnya dengan mudah. Tubuhnya ringan dan menyusut dengan hilangnya banyak cairan dan kotoran yang memberatkan tubuhnya. Terbanglah, hinggaplah di tempat-tempat yang baik. Meskipun sekali-sekali masih harus hinggap di tempat yang kumuh dan kotor, namun tak akan mengurangi keindahanmu.

Dalam termenung, dalam hening, diresapinya suatu pemahaman. Keberadaan insan yang menyemut mengitari perut bumi,. insan yang meminum segala bentuk zat,.cair, padat, wujud, tak berwujud,.hawa panas, dingin, hangat,.meleleh, kemudian membulat lagi begitu seterusnya,..sampai putaran bumi mengelilingi galaksi yang semakin tua dan pada masanya nanti akan selesai menjalankan tugas, adakah kepompong akan tahu, kapan ini akan usai dan dapat meretas dari ikatan rantai yang terbentuk atas kesadaran dirinya, dan atas kuasa penciptanya.

Dan berlari dengan cepat menghampiriNya, seolah ingin hatinya untuk mengimbangi kecepatan lari sang Pencipta pada dirinya, manakala dirinya membutuhkanNya, maka itulah yang dilihat: Allah selalu bergegas melakukan pertolongan, untuknya, hanya terkadang dirinya tidak menyadari itulah pertolongan untuk bisa lepas dari semua yang membelenggunya.

Menarik raga, mensucikannya dalam sebuah " kepompong " yang sangat kuat mengikat, membuai dengan kehangatan tapi terkadang membuat kesulitan bernafas, di dalam sana tidaklah semua dari kita bisa membentuk menjadi "sesuatu" , manakala hawa dingin dan panas menusuk, membanting tubuh kepompong yang sangat ringkih,.tipis, lemah karna selalu berpindah pindah letaknya terombang ambing oleh alam yang diciptakanNya untuk uji coba padanya, adakah kisaran waktu akan diberikan, adakah semua berujung pada cetakan yang sempurna ....terus berjalan...bergeser....melayang....namun ikatan tetap kuat menjaga, membentuk satu kesatuan, menyusun warna warni, memberi sentuhan pada tiap perubahan,..pembentukan bagian kepala...pusat yang akan menentukan terciptanya anggota-anggota raga lainnya dengan sempurna,..

Hingga Pencipta meniup ruh,.......ruh yang bersenyawa,.....ruh yang naik kelas,.....ruh yang sesungguhnya, ..bukan uji coba lagi,..kisah ini akan terus berlanjut, hingga ruh selesai bertugas dan membagikannya kepada kita,.menceritakan ulang,,.akan sebuah kisah sewaktu mengemban amanah dalam kegemilangan, setelah perjalanan yang sangat melelahkan tapi juga membahagiakan..

Dia kini telah berhasil memutus mata rantai yang mengungkungnya setelah sekian lama, hanya seorang diri, dalam jeritan kebisuan, rantai yang terputus bukan tidak mungkin menimbulkan bekas luka, goresan dan titik darah, merembes menembus dinding yang sangat lembut .....bernama kalbu ..maka aka diserapnya dengan ketebalan iman yang senantiasa diberikan tiada hentinya,.secara berlimpah oleh Allah kepada kita, agar luka lekas mengering dan tidak menimbulkan bekas

Sang kalbu yang terbasuh oleh kehangatan embun di pagi hari, dalam hitungan detik bermandikan cahaya yang menyusup ke jiwa,.raga, mulai mengeluarkan senyum ketenangan, syahdu, menimbulkan dentingan suara bak tetesan air yang mengalir membentuk irama bernotasi .... beriringan dengan degup jantung yang semakin kuat, .. tanda kesiapan menerima pelajaran baru.

Dia kini selalu berterima kasih kepada sang masa lalu yang kelabu yang mendekati warna hitam pekat yang karenanya memaksanya berusaha keras untuk dapat keluar dari jeratan sang gelap menjadi tokoh lakon prima di sang "masa kini", demikian kita belaja, dan mengambil hikmah dari semua pelajaran kehidupan di masa lalu.
Sesudah semua belenggu terurai dan lepas, maka tak ada lagi dia, tak ada lagi aku, semua menyatu, hilang, fana.
Seolah langit tersibak baginya, dunia menyambutnya, takdir demi takdir baru menghampirinya, sesuatu yang seolah secara logika sudah gagal, berhasil dicapainya. Suatu kejadian yang seharusnya akan membuatnya tersudut dan jatuh justru membuatnya bangkit dan kuat. Banyak kejadian demi kejadian yang seolah memberi tahu kepadanya. "Takdirnya telah ditulis ulang".

Suatu kesimpulan dari perenungannya dan menjadi suatu keyakinan kuat muncul dihatinya:

"Tuhan tidak akan mengubah nasibnya, kalau dia sendiri tidak mengubahnya".

Dia mulai membaca apa skenario Tuhan kepada dirinya. Maka diterima dan disambutnya takdirnya dengan tersenyum.
Selamat datang takdir, kusambut kedatanganmu dengan tangan terbuka.
Mulailah dikembangkan sayap akhlaknya untuk menerbangkan tubuhnya ke arah tempat-tempat yang lebih baik. Insya Allah.


Kisah perjalanan kupu-kupu dalam mengikuti cahaya menuju cahaya diatas cahaya akan dimulai. Seekor kupu-kupu muda yang belum berpengalaman namun bertekad bulat untuk terus terbang dan terbang sekuat sayapnya mengepak, agar mampu menggapai cahaya di atas cahaya.


Perjalanan ini akan dilanjutkan dalam bagian selanjutnya.


Bersambung.