03 November 2010

Episode 8: Mengendap dalam jati diri

Air jernih menyegarkan
bagai sebuah aliran ilmu
dituangkan ke sebuah gelas
sedikit demi sedikit
perlahan namun pasti
gelas itu akan penuh
sehingga meluap
air akan memercik terbuang percuma
maka isinya perlu diminum diserap
digunakan untuk kehidupan
sehingga gelas akan kosong
siap menerima tuangan aliran air jernih kembali
gelas itu adalah otak dan akal kita
gelas itu adalah ego kita
gelas itu adalah jiwa kita
ketika kita belajar suatu ilmu
merasa sudah sangat bisa
ilmu terasa penuh, merasa pandai
maka hadapkan kepada Sang Maha Pandai
maka terasa ketidakbisaan kita
ketika jiwa kita sudah merasa suci
maka hadapkan ke Sang Maha Suci
maka jiwa kita akan kosong kembali
ketika hati kita sudah merasa baik dan sempurna
maka kita hadapkan kepada Sang maha Sempurna
selalu dan selalu kembali ke fitrah
ketika kita sudah merasa di puncak
maka kita hanya akan tetap disitu atau turun
seharusnya kita hadapkan diri kita kepadaNya
menyadari kita bukanlah apa-apa
di hadapanNya
maka kita akan merasa bukan apa-apa
dan siap untuk naik dan naik kembali tanpa pernah
atau merasa turun kembali.

Banyak sudah tebing tinggi di dakinya, jalan terjal dilaluinya, onak dan duri diterjangnya. Kesulitan adalah pakaiannya sehari-hari. Sampai kini langkahnya justru semakin mantap. Tapak-tapak kakinya semakin menghujam ke bumi dalam-dalam. Matanya semakin bening menatap kehidupan penuh keyakinan. Otot-otot tangannya semakin kuat ketika menggenggam. Hatinya semakin bening dan jiwanya semakin tunduk. Semua menyatu menjadi sebuah pakaian, mengendap dalam jati dirinya, yaitu akhlak. Dia menjalani kehidupan dalam kewajaran, dalam kekinian.

Perjalanan yang semakin mengokohkan bathin. Dalam dzikir, dalam renungan, dalam tafakur, sedikit demi sedikit dadanya semakin menguat. Terasa daya hidup yang semakin besar. Daya yang terasa sangat kuat menyusup ke seluruh sendi, tulang, sumsum, daging, sel, atom. menyebar ke seluruh bagian, sampai ke partikel-partikel yang terkecil. Daya hidup yang teramat lembut, selembut benang sutera, seperti kapas, atau seperti mega yang berarak. Daya hidup yang akan bergetar kuat ketika disebut nama Allah, dalam dzikir, bergetar dalam irama yang menyegarkan. Daya yang nyata, daya yang nampak dan terasa ketika mengingat Allah. Ketika terlupa dan tak ada kesadaran akan Allah maka seolah daya itu lenyap, tak ada sama sekali, seperti aliran listrik yang terputus. Daya itu menghilang. Kemudian kembali ketika kesadaran muncul dan menghadirkan Allah. Seperti awan yang bergerak lembut mengisi dada, terasa sejuk atau bahkan dingin menyegarkan, walaupun cuaca bagaimana panas sekalipun. Daya ini tetap berada di dada, karena inilah jati diri sejati atau sang aku sejati, atau hati nurani, atau apapun sebutannya.

Daya ini hanya akan memantulkan kebaikan dan penyembahan mutlak kepada Allah, tak kenal kompromi, hanya mau tunduk dan patuh kepada Allah. Dengan semakin mengenal daya ini, maka semakin mengenal jati diri sejati, sehingga ketika ada jati diri yang lain yang masuk akan segera dikenali. Ketika jati diri asing masuk dan membisiki hati agar berbuat keburukan, maka dengan segera akan dikenal sebagai suatu jati diri asing atau musuh. Perlawanan terhadap jati diri asing dimulai, mungkin jati diri asing yang mengajak keburukan ini adalah jin atau syetan. Namun sangat terasa sebagai lawan. Ketika kesadaran melakukan scanning ke seluruh tubuh dan menghadapkan keseluruhan jati diri ini kepada Allah, maka terjadilah pertempuran. Terasa bergolak seluruh badan, meronta, mengejang, terasa mual, dan muntah-muntah. Jati diri asing ini (jin?/syetan?), menolak untuk keluar, namun dengan kekuatan daya dan dengan terus menghadapkan dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah, maka akhirnya keluarlah jati diri asing (jin/syetan) ini melalui tenggorokan, terasa keluar dalam bentuk suatu kesakitan yang luar biasa. Namun sedetik kemudian rasa sakit itu hilang lenyap seolah tidak pernah terjadi apa-apa, bahkan yang timbul adalah ketenangan yang luar biasa dalam hati, tanpa ada bisikan-bisikan buruk lagi.

Proses ini berlangsung sampai beberapa hari, sedikit demi sedikit semakin berkurang intensitas, sampai terakhir hanya terasa memuntahkan hawa saja, walaupun rasa sakit di tenggorokan waktu keluarnya jati diri asing (musuh) ini masih terasa menyakitkan, mungkin ini semacam rukyah (??), namun yang dilakukan oleh diri sendiri. Entahlah.Yang pasti ketika seluruh proses telah selesai, dan dalam proses scanning telah tidak ditemukan lagi jati diri asing, maka hati semakin tenang, dan daya hidup itu semakin kuat. Selanjutnya bisikan-bisikan dalam hati hanyalah mengajak kebaikan dan ketaatan beribadah kepada Allah.

Terasa ada suatu kemampuan untuk melihat sesuatu yang tidak mampu dilihat oleh mata, hati merasa berilmu, dan penuh, mungkin akan timbul keangkuhan walaupun sedikit, maka selanjutnya ketika dihadapkan kembali kepada Allah terasalah bahwa menjadi tiada apa-apa lagi, tiada daya. Selanjutnya didapatkan pemahaman kosong isi, isi kosong. Ya, dalam hidup selalu begitu, hidup selalu kosong isi, dan isi kosong (0 dan 1). Ketika kita isi, maka perlu kita kosongkan dan ketika kita kosong maka perlu kita isi. Ketika orang lain melihat kita kosong pada hakekatnya kita isi penuh, sementara ketika orang lain melihat kita isi, padahal kita kosong dan tidak ada apa-apanya. Ketika kita merasa isi ilmu, hakekatnya kita kosong tak ada apa-apanya dibanding Allah. Ketika orang lain menganggap kita tidak ada ilmu, maka kita akan penuh berisi ilmu yang berasal dari Allah, yang siap dibuka seberapa banyakpun. Seperti bilangan biner 0 dan 1, yang mampu memberi kode apa saja.

Semakin mengenal jati diri sejati, maka semakin memahami mengapa benda-benda yang menghilangkan kesadaran adalah diharamkan, misalnya minuman keras. Begitu pula makhluk berjiwa yang tidak disembelih dengan menyebut nama Allah, karena jati diri benda tersebut masih nyata dan mengganggu jati diri sendiri. Begitu pula babi, karena jati diri babi yang serakah dan memakan apa saja, sangat kuat mengganggu. Dan semua barang-barang yang diharamkan lainnya. Begitu pula perbuatan-perbuatan yang diharamkan misalnya zina, menipu, atau lainnya, karena akan merusak jati diri sejati kita, mempengaruhi daya hidup. Dengan menggunakan daya hidup ini untuk melakukan scanning ke seluruh tubuh akan terasa benda-benda atau makhluk-makhluk yang menggangu "jati diri" ini untuk tetap teguh dalam ketaatan kepada Allah.

Semakin dalam, semakin mengendap, semakin mengenal jati diri sejati ini. Maka sangat mudah merasakan apakah sedang sadar atau terhubung dengan Allah, karena daya hidup yang lembut dan sejuk ini ada dan menguat, semakin menguat sampai batas yang tak berbatas. Ketika daya hidup ini dipancarkan ke seluruh tubuh, terasa ketenangan, kedamaian, kekosongan, tanpa persepsi. Tanpa penilaian, segala sesuatu berada dalam kewajaran, dalam sunatullah. Ya apapun kegiatan ibadah kita, sholat, zakat, puasa atau lainnya akan menjadi suatu hal yang sederhana dan wajar, tanpa persepsi.

Suatu ketika, kita akan mampu merasakan bahwa sholat bukan lagi kewajiban atau bahkan kebutuhan sekalipun, namun sudah menjadi sunatullah, sebagaimana halnya kita bernafas, kita makan atau minum. Suatu hal yang otomatis, wajar, dan biasa (namun sangat luar biasa). Bayangkan ketika kita menahan nafas, menahan lapar, menahan haus. Kuat bertahan berapa lama?. Nah seperti itu seharusnya, kita tidak lagi merasa sedang sholat, karena memang sudah seharusnya begitu, sudah menjadi bagian atau jati diri kita. Kita sudah mampu berzakat atau beribadah lainnya tanpa merasakan atau berfikir sedang beribadah tertentu. Karena keseluruhan gerak kehidupan kita sudah kita arahkan sepenuhnya kepada Allah, maka tidak ada perbedaan lagi beribadah ini atau itu. Hanya menjalankan satu fungsi dan fungsi lainnya, mejalankan satu tugas dan tugas lainnya, menjalankan satu kewajiban dan kewajiban lainnya.

Maka sholat adalah nafas kita, kita sudah tidak menyadari sholat lagi sebagaimana kita tidak perlu menyadari nafas. Tentu saja kita masih bisa menarik nafas kita dalam kesadaran, sadar bahwa kita sedang bernafas, namun bisa pula bernafas tanpa disadari yang terjadi secara otomatis atau sunatullah, sehingga kita tidak akan mampu bertahan lama tanpa bernafas, pasti akan tersengal, bahkan mati. Begitu pula sholat, kita bisa saja tidak sholat, namun akan berapa lama?. Pasti akan tersengal dan mati. Maka sholat menjadi kegiatan yang sangat ringan, namun menyegarkan. Ketika kita tidak sholat, bayangkan sebagaimana kita menahan nafas, atau bayangkan hidung tersumbat, bayangkan batuk, maka akan terasalah kenikmatan nafas ketika kita terbebas dalam bernafas. Itulah kenikmatan sholat. Maka syukur kita adalah syukur atas diberinya kesempatan untuk sholat, syukur atas diberinya pelajaran dalam bersholat. Syukur atas nikmat beriman dan atas nikmat ber-Islam.

Sekali lagi, proses demi proses yang terjadi adalah pengisian pemahaman sampai penuh sehingga merasa bisa, lalu mengendap dan kosong lagi, lalu berulang lagi, mengisi lagi sampai penuh dan mengendap lagi. Proses penuh, kosongkan ... endapkan ... isi ... penuh ... kosongkan ... endapkan. Terus tanpa pernah berhenti. Tanpa pernah merasa sudah menjadi pandai. Tanpa pernah merasa sudah menjadi suci. Tanpa pernah merasa menjadi berilmu. Selalu kembali kosong, fitrah seperti bayi. Dalam semangat belajar yang tinggi. Mau menerima pendapat dan saran, mau mencoba dan mencoba, tidak takut gagal dan seterusnya.


Perjalananku masih panjang
betapapun panjangnya
langkah telah dimulai
sejauh mata memandang
dalam keyakinan
ada tujuan
ada tekad
ada niat
kehendak
.....
tetapi juga
tanpa kehendak
tak ada niat
tak ada tekad
tak ada tujuan
di dalam dan di luar keyakinan
kemanapun mata akan memandang
berapapun langkah
berapapun panjangnya
perjalanan itu
....
semua ada terliputi
semua berada dalam kekuasaanNya
dalam genggamanNya
dalam kehendakNya
dalam tujuanNya
dalam keinginanNya
dalam rencanaNya

.......

Kun fayakun



Bersambung

Perjalanan Seekor Kupu-kupu : Episode 7: Meditasi dalam Gerak


Angin bertiup
daun luruh, terjatuh melayang bersamanya
berguguran daun-daun yang menguning
tumbuh lagi daun-daun hijau muda yang baru
pucuk-pucuk pepohonan semakin meninggi
berkembang dalam gerak hidup
dzikir pemujaan kepada Sang Pencipta
seekor kupu-kupu bersayap keemasan
melayang mengikuti arah angin
dengan kekuatannya, hinggap dari satu ranting
ke ranting lainnya
dari satu kuntum bunga ke kuntum bunga lainnya
dalam gerak, dalam penyembahan, dalam pemujaan
mengikuti kehendak Sang Pencipta
diam dalam gerak kepak sayapnya
meditasi dalam gerak kehidupannya

Semakin tinggi, dan semakin tinggi kupu itu mengepakkan sayapnya, sampai batas tertinggi yang tak terjangkau lagi. Suatu kesadaran kembali menjelma, menyatu, merasakan, bahwa kaulah kupu itu. Mengarungi, menapaki, jalan-jalan kehidupan sehari-hari. Berjalan di teriknya matahari ibukota, melanglang buana, menginjakkan kaki diantara pegunungan, sungai, lembah dan jalan-jalan di beberapa kota di pulau ini, pulau Jawa. Sebuah pulau yang sarat dengan simbol-simbol dan petunjuk-petunjuk yang harus diberi makna.

Perjalanan spiritual dalam realitas, banyak kejadian-kejadian yang terjadi di luar logika, diluar nalar, di luar kemampuan akal dan otak menerima arti dan makna dari simpul dan simbol yang diberikan oleh Sang Pencipta. Yang memberikan bukti secara langsung, untuk pemenuhan kepuasan akalku, karena justru aku seseorang yang meninggikan akal dan logika. Maka bukti-bukti ini semakin meruntuhkan akal, menundukkan akal. Sedikit demi sedikit, kekuatan sayapku semakin kuat. Pancaran dan warna warni sayapku semakin kuat. Seekor kupu-kupu yang memang berasal dan tumbuh dari tanah ini, dari tanah Jawa, yang merasakan daya hidup dan getar hidup yang mengalir dari tanah kelahiran.

Kejadian demi kejadian spiritual yang nampak dalam realitas. Sesuatu yang seolah aneh namun hadir dalam realitas dan menjadi sesuatu hal yang biasa. Semua terjadi karena ijin dan kehendak Allah. Karena tanpa ijinnya maka tak ada sesuatupun yang akan mungkin terjadi. Maka hanya perlu dimaknai. Ketika setiap kejadian itu berlangsung dan berakibat semakin meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah, biar dimaknai sebagai suatu kebaikan. Dan sebaliknya kalau bermakna ke keburukan, harus segera berpindah, sebagaimana hijrah, baik dalam kontek hijrah kecil maupun hijrah besar, demi mempertahankan iman yang sedang tumbuh berkembang di dada. Biarlah kejadian dan kejadian ini tak usah diceriterakan karena hanya akan menimbulkan persepsi dan pertentangan antara keyakinan dan ketidakyakinan, antara kepercayaan dan ketidakpercayaan. Sesuatu yang tidak akan membawa manfaat sama sekali. Namun yang pasti kejadian demi kejadian ini semakin meningkatkan keyakinan, iman dan ketakwaan kepada Allah.

Perjalanan menapaki spiritual dilanjutkan ke perjalanan menapaki realitas dengan spiritual sebagai roket pendorong menapaki jalan-jalan yang sulit di hari-hari depan nanti. Perjalanan ini begitu sulit, namun harus dilakukan. Dari kejadian dan pengalaman yang dialaminya bersama-sama beberapa keluarga dan kerabat dalam menapaki jalan spiritual ini. Keyakinan semakin tebal, semakin yakin, sebuah jalan yang telah dipilihnya bersandar kepada Allah, sesuai kemampuannya mengambil dan menentukan pilihan tersebut.

Perjalanan selanjutnya adalah meditasi dalam gerak, dzikir dalam gerak. Suatu kegiatan yang bukan sebuah ritual ibadah, namun hanyalah suatu penerapan mengingat Allah dalam setiap detik, setiap saat, dimana saja, kapan saja. Tak ada yang aneh dalam perjalanan ini, hanyalah mengamati, menghadapkan ruh kita kepada Allah, setiap saat, dimana saja, terus menerus tanpa henti. Melakukan ini saat berjalan, saat berdiri, saat diam, bernafas, berbaring, melihat apapun, memandang apapun, memegang apapun, merasakan apapun. Apa saja yang dilakukan, apa saja yang dirasakan, selalu diusahakan menghadapkan kesadaran kepada Allah. Lalu memasuki kesadaran alam semesta, merasakan jati diri alam semesta, merasakan ruh alam semesta, berada dalam kesadaran, mulai merasakan keberadaan jati diri mereka, menyadari, merasakan kehendak mereka, yaitu bertasbih kepada Allah, memuja, mengagungkan, tunduk dan taat dengan sukarela. Ketaatan mutlak tanpa terpaksa, tanpa persepsi, tanpa protes, dengan suka rela. Memasuki kesadaran ruh semesta dari benda mati, di angkasa, matahari, planet, galaksi, bulan, dan sebagainya. Berada bersamanya, meliputi, berada didalam dan berada di luar. Ada dalam kesadaran kita bagian dari alam semesta, alam semesta adalah bagian dari kita. Bersama-sama menyembah, bertasbih, memuja, memuji. Pada hakekatnya alam semesta adalah ingin dikenali, ingin diketahui keberadaannya. Ingin diketahui kehendaknya yaitu menunjukkan keberadaan dan jati dirinya.

Lalu meditasi dalam gerak dilanjutkan meliputi makhluk-makluk hidup, mengenal, berada bersamanya, diluar dan didalam, mereka adalah mereka dan aku tetaplah aku. Membaca dan memahami apa kehendak mereka masing-masing. Maka seolah ada bisikan-bisikan yang berdesir di hati, berkata tentang kasih sayang, tentang bagaimana mencintai sesama dan mencintai makhluk-makhluk Allah yang ada di muka bumi. Seolah bisikan itu begitu kuat, apakah aku mampu membaca apa kehendak mereka?. Entahlah, biarlah Allah saja yang memberi tahu, aku hanya ingin mengenal, dan merekapun hanya ingin dikenali.

Setiap ruh dari benda-benda itu mempunyai jati diri yang ingin dikenal oleh manusia, ingin semakin dekat dengan manusia, ingin disayangi oleh manusia. Karena memang itulah kehendak dasar yang dimiliki oleh setiap benda. Ada benda-benda yang mempunya jati diri yang sangat kuat, yang mampu menarik perhatian dan cinta manusia sehingga tidak saja ingin mengenal dan memandang namun ingin memiliki, misalnya, emas, perak, permata, kuda-kuda perkasa, rumah-rumah yang indah dan juga makanan-makanan yang enak. Dan masih banyak lagi benda-benda yang menarik minat manusia. Memang itulah kehendak dasar yang diberikan oleh Allah kepada benda-benda tersebut. Hanya manusia-manusia yang sadar saja yang tidak terpengaruh oleh jati diri benda-benda tersebut yang begitu menarik hati tersebut. Hanya terbatas pada apa kehendak dasar benda tersebut yaitu agar dikenali.

Lalu meditasi gerak dilanjutkan untuk meliputi semuanya, termasuk ke manusia yang satu dan yang lainnya, memahami kehendak antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya, memahami apa kehendak masing-masing individu. Meliputi semuanya, lalu menghadapkan ke semuanya itu kepada Allah, sesungguhnya kita tiada kemampuan apa-apa, tiada daya upaya. Aku adalah makhlukNya, hambaNya, saksiNya, khalifahNya. Maka hanya dengan dzikir dan hanya de3ngan dzikir maka kehendak manusia akan berada pada batas atau koridor yang diridhoiNya.

Maka kesadaran kita akan berada dimana saja, berada di awan yang mengikuti kehendakNya menjadi hujan, berada di matahari, bulan dan bintang dan berada dimana saja, meliputi berada di dalam dan berada di luar. Namun aku tetaplah aku. Yang berada disini, berada di kekinian, saat ini dan disini. Kesemuanya itu kukembalikan kepada Allah.

Hati akan semakin lembut, tenang, damai, tak ada apapun bentuk pengejaran, semua terjadi dalam kewajaran, semua terjadi dalam ketentuanNya, tak ada sesuatu yang aneh,, berlangsung dan terjadi dalam harmoni. Sesuatu yang sudah sewajarnya terjadi dan seharusnya terjadi. Seumpama seorang bayi yang dengan polosnya memandang dunia. Apapun kondisi dunia, tidak membuatnya gembira atau duka. Tak ada lagi. Mengikuti getar kehendakNya.


Keyakinan semakin menguat
aku hanyalah hambaNya
aku hanyalah makhlukNya
aku hanyalah diminta untuk menyembah
maka apapun yang akan dilakukan
akan menjadi suatu cara penyembahan
pasrah tanpa merasa sedang pasrah
berilmu tanpa merasa berilmu
sadar tanpa merasa sedang sadar
ikhlas tanpa merasa sedang berikhlas
menyembah tanpa merasa sedang menyembah
ibadah tanpa merasa sedang beribadah

semua itu karena kehendak Allah
hanya mengikuti kehendakNya
tak ada persepsi yang ada persepsi Allah
tak ada kehendak yang ada kehendak Allah

berserah diri sepenuhnya
menjalankan setiap langkah hanya untukNya
dalam keterbatasan
dalam kesempitan
pada batas kemampuan yang ada saat ini

Berbuat yang terbaik di saat ini
Maka saat ini harus lebih baik dari tadi
hari ini hari lebih baik dari kemarin
esok harus lebih baik dari hari ini


Menjadi fitrah, seumpama bayi yang baru saja lahir. Suci.



Bersambung