24 September 2010

' Kisah perjalanan seekor kupu-kupu: Episode 2 (Memutus mata rantai) '

Oleh : IMAM SARJONO


Lembah di bawah bukit itu menghijau, ada sungai melebar yang membentuk sebuah danau, Sungai Angsa namanya, sesuai dengan Angsa hitam yang teramat elok yang hanya hidup di daerah ini. Di lihat dari atas bukit sungai itu seolah seperti pinggang seekor naga yang kekenyangan, meliuk-liuk atau seperti sebuah negeri khayal yang penuh kedamaian. Hari masih pagi, matahari mulai menampakkan sinarnya malu-malu, seolah muncul dari balik bukit sambil tersenyum simpul menyapa setiap makhluk yang sudah terbangun dan menikmati kehangatannya, untuk mengagumi kecantikannya, untuk menghargai kedatangannya, menyambut mesra kehangatan yang diberikannya.

Lelaki itu kembali ada di atas bukit itu, di tempat yang sama dan dalam posisi yang sama, tengah menengadah menatap langit, matanya menerawang jauh, apakah dia belum beranjak dari sana, apakah dia sudah pulang semalam dan kembali lagi?. Nampaknya dia begitu menikmati keindahan panorama pagi ini, menikmati kehangatan matahari pagi, nampak dari senyumnya yang terkembang, dari matanya yang berbinar-binar, dari rona wajahnya yang memerah segar, sesegar kehangatan pagi ini. Matanya mencumbu setiap titik yang ditatapnya, mencumbu pucuk daun, mengecup tanah dan rumput yang basah oleh embun pagi, mengelus mesra hamparan permadani pepohonan di kejauhan, berselimut awan pagi yang bersemburat sinar keemasan matahari pagi. Seolah seluruh jiwa dan semangatnya terpaku, terpusat dalam seluruh keindahan alam pagi ini. Entah manakah yang lebih cerah, alam yang penuh pesona ini, ataukah kecerahaman rona wajah lelaki itu yang terbuai oleh keindahan alam semesta ini. Wajahnya nampak berbinar-binar penuh kebahagiaan menyambut datangnya pagi, menyambut datangnya kehidupan, menyambut seluruh keindahan dalam kebahagiaan bersamanya. Kecerahan sinar matahari pagi, kecerahan wajahnya, secara keseluruhan ini seolah menjadi satu kesatuan yang utuh. Seorang lelaki setengah baya menikmati keindahan suasana di pagi hari.

Betapa inginku terbang, melambung tinggi, ke angkasa, menuju batas yang tak tampak dari sini, akan kuajak dia terbang melayang, menuju seluruh penjuru dunia, menjamah, memeluk, setiap bagian yang nampak, namun aku masih terperangkap di dalam tubuhnya, jepitan ini begitu menyiksaku, jepitan masa lalu. Aku hanya mampu memasuki ruang-ruang masa laluku, yang kesemuanya itu berisi catatan dan kisah-kisah duka, setiap catatan dan kisah duka itu seolah mata rantai yang mengikatku.

Ketika kesadarannya mulai menguat, dimasukinya seluruh kamar-kamar ingatan masa lalu, kamar yang berisi duka nestapa, penderitaan, kesulitan hidupan, emosi, kemarahan, kedengkian, kecemburuan, semua kamar yang selama ini tertutup namun rantainya mengikatku.

Dalam tafakur, dan perenungannya, telah dihancurkannya kenangan demi kenangan satu demi satu, maka satu demi satu rantai telah terlepas. Dari pengenalan setiap kamar dalam kenangan itu, semakin dikenalinya dirinya, mengenal dirinya sendiri, setiap tapak, setiap langkah. Ketika semakin dia mengenal diri sendiri, kesadarannya semakin menguat, dia mengenal ada suatu Dzat Yang Maha Sadar, tengah mengatur, tengah merencanakan, memaksanya, mau atau tidak mau, suka atau tidak suka dalam sebuah garis takdir.

Sebuah kesimpulan telah didapatkan:

Dengan semakin mengenal diri sendiri maka akan semakin mengenal Allah.

Kesadarannya mulai mengenal, tubuhnya, mengenal akalnya, mengenal jiwanya, mengenal ruh dan mengenal bashiroh. Ruh yang terikat dan tertutup oleh nafsu, dan jiwa yang meliar oleh nafsu, ego yang ingin dituruti.

Ketika semua kenangan masa lalunya mulai disingkirkan, kamar-kamar dalam jiwanya yang berisikan kenangan-kenangan pahit telah diruntuhkan, dia telah memaafkan dirinya sendiri, dia telah memohon ampun kepada Tuhannya, sepertinya dia telah kembali suci: maka kembali didapatkan sebuah kesimpulan:

Seluruh perjalanan hidupnya di masa lalu, adalah sebuah pembelajaran yang diberikan oleh Allah kepadanya.

Maka perlu mencari makna dari setiap kejadian, dari setiap takdir yang terjadi. Sebuah makna yang bersumber dari Sang Pemilik kehidupan bukan bersumber dari Persepsinya.

Jiwa, ruh, bashiroh sudah mulai terangkai dalam suatu kesadaran, yaitu untuk menghadapkan kesemuanya ini dalam suatu penyembahan yang sempurna kepada Sang Maha Sadar. Kesadaran yang bersumber dari Sang Maha Sadar adalah kunci untuk membuka seluruh mata rantai yang membelenggu ruhnya satu demi satu,
- Asumsi-asumsinya selama ini yang tidak benar mengenai orang suci dan orang yang sok suci
- Anggapannya tentang hakekat ibadah dengan ritual ibadah
- Pandangannya mengenai tujuan hidup, terutama masalah takdir
- masih banyak lagi hal-hal mendasar yang lainnya

Keseluruhan pemahaman ini, mulai terbentuk, bagaikan mengumpulkan puzle satu demi satu lalu menggabungkannya, agar membentuk suatu gambar, sehingga semakin terlihat, semakin nyata, semakin jelas, terpampang dalam kesadaran.

Semakin mengenal siapa dirinya, dalam kesadaran, dia mampu melihat wujud Allah. Kesadarannya mampu "melihat" Allah di dalam dirinya, dimana saja, di tunas pohon yang tumbuh, di putik bunga yang bermekaran, di serangga yang terbang di atasnya, di warna warni tanaman, di awan yang berarak, di sungai jauh dibawah bukit yang mengalir tenang, di langit biru, angin yang bertiup lembut. Tak ada sesuatupun di alam semesta ini yang terlewatkan dalam kekuasanNya, baik itu yang materi ataupun yang non materi. Baik itu yang nyata atau yang gaib, yang terlihat maupun yang tersembunyi. Dia yang Maha Halus.

Seperti sebuah magnet yang kuat, menyedot besi-besi, ketika kesadaran lelaki itu mulai mengarahkan kepada Allah, mengarahkan "aku" untuk menghadap Allah, mengarahkan tubuhnya, jiwanya, ruhnya. Maka sempurna tafakur ini menjadi sebuah jalan peretemuan antara seorang hamba dengan Sang Pencipta. Ketika kesadarannya mulai melepaskan "aku", maka mengalirlah "daya" yang berasal dariNya, sebuah daya hidup, sebuah kekuatan hidup, sebuah keyakinan, kebulatan tekad, keteguhan, kemantaban. Iman yang menjadi Niat, menjadi takwa, dalam baju akhlak. Sesungguhnya sholatku, hidupku, ibadahku, matiku, hanyalah kutujukan bagiMu sang Pemilik hidup ini.

Maka selanjutnya, langkah kakinya, mulai menuruni bukit itu dengan langkah tegap, dada kuat membusung, penuh semangat hidup, penuh energy, penuh kekuatan, penuh kepastian, penuh keyakinan, penuh kepercayaan yang kesemuanya itu berasal dari daya hidup Sang Maha hidup. Dia mampu melakukan apapun, dia mampu menjadi apapun, diapun mampu tidak melakukan apapun atau tidak menjadi apapun, selama semua itu ditujukan sebagai bukti cintanya, bukti rasa syukurnya, bukti pengabdianya, bukti penyembahan secara menyeluruh kepada Tuhan Yang Maha Esa, Allah.

Diulang berkali-kali kesimpulan yang didapatkan dari perenungannya kali ini:

- Dengan mengenal diri sendiri maka akan mengenal Allah
- Seluruh takdir yang terjadi pada dirinya adalah sebuah pelajaran yang diberikan olehNya
- hanya ketika dia mampu meniadakan aku, melepas semua rantai maka dia mampu menerima "daya hidup" dari Allah, yang menjadi sumber energy bagi langkah dan kehidupannya.

Dia melanjutkan langkahnya, menuruni bukit, itu sampai hilang di balik rimbunnya pepohonan di bawah bukit itu.

Catatan akhir dari perenungan:
Sebuah perenungan mengenal diri, ternyata adalah proses yang menyakitkan, karena harus membongkar luka lama, merasakan seluruh derita dan penyesalan, aib, penderitaan, duka, masa lampau yang dilakukan dalam proses sesaat. Ada jalan yang lebih mudah yaitu dengan mengenal Allah maka kita akan mengenal diri sendiri, karena Allah akan memberi pelajaran. Namun ternyata jalan yang saya tempuh adalah dengan mengenal diri sendiri untuk mengenal Allah, walaupun jalan ini beresiko, dan agak membahayakan, karena dampaknya terasa pada jiwa dan raga secara langsung dan sekaligus.



Tafakur ini masih berlanjut.


Bersambung.

16 September 2010

Kisah perjalanan seekor kupu-kupu


Oleh : IMAM SARJONO

catatan lanjutan dari perjalanan mengikuti cahaya menuju cahaya diatas cahaya)


Bagian 1: Pendahuluan


Tulisan ini merupakan lanjutan dari Perjalanan mengikuti cahaya menuju cahaya di atas cahaya yang sudah saya akhiri. Perjalanan itu harus saya akhiri di hari ke 100. Titik perhentian pertama saya adalah di hari itu. Lalu saya merasa harus ber-metamorphosa, berubah bentuk bagaikan seekor ulat yang merayap di semak belukar, pepohonan, tanah becek berubah menjadi seekor kupu-kupu yang mampu terbang keangkasa dalam bentuk seindah-indahnya dan hanya hinggap di tempat yang baik-baik saja. Sebuah perubahan bentuk yang wajar dalam proses yang alami dari makhluk yang buruk, menggelikan dan menjijikkan menjadi makhluk lain yang lebih baik.

Perjalanan hidup saya sampai dengan perjalanan mengikuti cahaya bisa saya umpamakan sebuah perjalanan hidup ulat sampai menjadi kupu-kupu. Perjalanan hidup saya sebelum berkenalan dengan sholat khusuk bisa saya ibaratkan seperti kehidupan ulat, yaitu bergerak lamban, di tanah, rumpun, tempat kotor, hanya mengisi perut, makan, dan makan, merayap. Sebuah makhluk yang menakutkan. Perjalanan selanjutnya adalah proses pengenalan yaitu "kesadaran" untuk bermetamorfosa, berubah bentuk ke arah yang lebih baik. Perlu kesungguhan yang luar biasa untuk mencapai tujuan itu. Kemudian proses yang dilakukan selam seratus hari tersebut adalah seperti memintal benang sedikit demi sedikit sehingga membentuk suatu selubung pada tubuh, sebuah kepompong, proses yang cukup panjang ini memerlukan waktu cukup lama sampai kesiapan dalam penyerahan diri total sepenuhnya kepada Sang Pemberi Hidup. Selanjutnya adalah masa perenungan, pemahaman, penghayatan, pencarian hakekat, berpuasa, bertapa bagai dalam kepompong. Sebuah perenungan yang sempurna karena kebetulan bersamaan dan bertepatan waktunya dengan puasa Ramadhan. Dalam kesendirian, dalam kesepian, dalam hubungan langsung kepada Allah, dalam benteng tubuh yang berupa kepompong, dalam tiada daya, hanya bergantung hanya dan hanya kepadaNya.

Perjalanan dalam masa-masa di dalam kepompong ini akan berisi instrospeksi, pengamatan diri sendiri, perenungan, kontemplasi, pencarian hakikat, mengerti benar akan diri sendiri, memahami apa saja kelemahan, lalu membuang segala sesuatu beban yang memberati tubuh, sehingga meringankan tubuh menuju suatu akhir proses metamorfosa sempurna, menjadi kupu-kupu muda. Apakah tujuan akhir sudah selesai. Tentu saja tidak, proses metamorfose ini akan merupakan proses berulang, ketika hati kita mulai mengeras, tubuh kita mulai membebani, proses metamorfosa harus dilakukan, berganti dengan kupu-kupu yang lebih indah. Sampai suatu saat ini akan muncul sebuah bentuk cahaya yaitu kupu-kupu yang terbentuk dari cahaya, yang mampu terbang melebihi kecepatan cahaya menuju cahaya diatas cahaya. Semoga saat itu akan terjadi. Amin.

Kembali sekali lagi saya tekankan, tulisan ini merupakan catatan harian dari seekor kupu-kupu muda yang mencoba terbang mengikuti cahaya menuju cahaya diatas cahaya. Untuk itu sebuah metamorphosa harus dilalui yaitu masa berpuasa dalam bentuk kepompong, bertafakur, bermeditasi, merenung, menggali kelemahan-kelemahan diri, membuang semua beban, sehingga mampu berubah menjadi suatu bentuk yang sempurna. Masa kepompong ini rencananya akan saya akhiri selama 30 hari, yaitu dimulai dari hari ke 101 dari perjalanan mengikuti cahaya, atau beberapa hari menjelang puasa Ramadhan, diakhiri nanti sampai akhir Ramadhan, masa penggemblengan, perenungan, pencarian jati diri, pencarian bentuk, apakah hasil akhir dari puasa ini nantinya?.

Semoga dengan selesainya masa kepompong ini, akan muncul, seekor kupu-kupu yang bersabar lebar, kokoh, kuat, berwarna-warni indah, berbadan kecil ringan, tak lagi tersedot gaya tarik bumi, gaya tarik tanah, gaya tarik duniawi, mampu melepaskan diri dari gaya tarik itu, kapan saja, walaupun tetap harus hinggap di bumi, namun tak lagi merayap dan tersedot oleh gaya tariknya. Pernahkah melihat kupu-kupu?. Tentu saja pernah, bukan sekali dua kali bahkan sering kali, mungkin setiap saat, apa yang teringat?. Tentu keindahan sayapnya, kelincahan terbangnya, selalu hinggap di tempat tinggi dantempat yang baik, kuntum bunga atau ujung daun dan lainnya. Coba amati lebih dekat, coba lihat bentuk tubuhnya dan lupakan sayapnya yang indah itu. Maka akan tampat bentuk yang masih buruk mungkin masih mirip dengan bentuk sebelumnya, seekor ulat, namun dalam ukuran yang jauh lebih kecil, lebih ringan dibanding bentangan sayapnya yang lebar.

Ketika suatu saat nanti, sayap akhlakku tumbuh kuat, lebar tinggi dan perkasa, mungkin sebuah sayap terbuat dari cahaya yang berasal dari surga, mungkin sayap lembut yang bersinar, dan ragaku semakin ringan tak tersedot gaya tarik ketanahan unsur duniawi, maka sayapku akan mampu mengangkat ragaku kemana saja, ke tempat-tempat yang tinggi dan baik. Semoga. Ketika orang memandangku yang akan terlihat hanyalah keindahan sayap-sayap akhlakku, melupakan bentuk fisikku, ragaku dan tubuhku.

Saat ini masa itu belum tiba, saat ini adalah masa kepompong, berusaha dengan kekuatan diri sendiri melepas belenggu yang mengikat badan satu demi satu, sedikit demi sedikit, tanpa bantuan orang lain?. Mengapa?. Karena hanya itulah caranya. Coba bantu kepompong dengan memotong benang-benang kepomong itu, maka yang keluar adalah ulat, atau makhluk cacat, setengah ulat, setengah kupu-kupu yang mengerikan, bahkan kemungkinan malah akan mati. Usaha diri sediri diperlukan untuk mencapai perubahan bentuk. Berlaku untuk semua makhluk yang belajar, lihat anak-anak burung, bantu dia dengan melempar keudara, ketika kemampuan belum siap, maka akan terjatuh dan mati, lihat anak kura-kura yang belajar menuju pantai berenang ke tengah samudra. Terlempar tetap maju, terjatuh tetap merayap, begitu seterusnya, kalau kita bantu mungkin akan melenyapkan daya juangnya sehingga menjadi lemah dan mati dalam perjalanan.


Kumulai saat perenunganku, saat kontemplasi, saat pencarian jati diri, saat mencoba memahami kelemahan diri sendiri, membuka belenggu kepompong yang membelit ragaku ini satu demi satu, membebaskan ragaku dari sesak dan ikatan yang melingkupiku. Sambil terus menghilangkan kotoron dan butir-butir air yang mengikat raga dalam unsur ketanahan, agar mengurangi gaya tarik ketanahan yang begitu memikat, gaya tarik keduniawian yang menyedot. Mampukah aku?. Semoga. Hanya waktu yang akan menjadi sejarah itu, maka catatan ini menjadi salah satu bagian sejarah penting bagiku. suatu bukti akan keberhasilan ataukah kegagalanku mendapatkan bentuk yang lebih sempurna nanti.


Proses pertama dalam masa kepompong ini: Melepas belenggu yang membelit raga
.......

Bersambung.

Salam
Imam Sarjono

06 September 2010

UNTUK APA KITA MENCARI LAILATUL QADAR..???

Oleh : IMAM SARJONO

Ada pertanyaan yang menggebu dari dulu, sejak masa kecil dahulu sekali, dan juga berbentuk sebuah keinginan, mungkin ini adalah sebuah misteri, ataukah sebuah tanya, bisa pula sebuah tuntutan, dalam pencarian demi pencarian, mungkin juga dialami ribuan orang atau bahkan jutaan orang sejak dahulu kala, sejak masa awal Islam sampai masa kini, yaitu "Lailatul qadar" atau diterjemahkan dengan "malam seribu bulan". Ingin menguak misteri dari seluruh misteri tentang satu malam. Satu malam termulia, dinyatakan sebagai malam kemuliyaan. pertanyaan-pertanyaan ini bergaung, terus menerus, tanpa henti, bertahun-tahun, melintas ruang dan waktu, tanpa batas, dan pencarian demi pencarian dilakukan dengan melihat ciri-cirinya, malam itu harus seperti ini, malam tak berbintang, angin tak berdesir dsb, dsb. Lalu turunlah seluruh malaikat membawa berkah dan rahmat keseluruh alam semesta. Suasana penuh "misteri" sangat terasa, kental sekali

Kini, ketika kesadaranku sudah mulai terbuka, mencoba memahamkan tentang hakekat malam itu berdasarkan realitas atau kenyataan kehidupan yang ada disini, di saat ini, terutama bagi saya sendiri. Menyibak tirai misteri, metihat dalam kaca mata seorang manusia biasa, membuang seluruh legenda, hikayat dan melupakan sejarah, memcoba mencari hakekat dalam konteks kekinian, masa ini, disini, saat ini, oleh saya sendiri dalam realitas nyata kehidupan sehari-hari.

Malam lailatul qadar adalah malam pengajaran oleh Allah bagi hamba yang dipilihNya untuk menerima pengajaran dari Allah secara langsung. Pada saat itu akan diberi pelajaran mengenai hakekat kehidupan, seluruh proses kehidupan. Seluruh pelajaran yang seharusnya memerlukan seribu bulan pelajaran akan diberikan dalam satu kali pertemuan di malam itu. Maka pada malam itu akan dilakukan penyempurnaan jiwa. Yaitu penyempurnaan jiwa manusia untuk mengikuti akhlak Nabi Muhammad. Menjadikan jiwa kita sempurna, memakai baju takwa, artinya mengajarkan isi, makna, hakekat Al Quran secara langsung ke hati kita, sebuah pengajaran langsung yang apabila kita harus belajar sendiri memerlukan seribu bulan, itupun mungkin tidak akan pernah sampai disana. Penyempurnaan jiwa kita sebagaimana janji Allah, bahwa Dia lah yang akan menyempurnakan jiwa kita.

Bagaimana realisasinya bagi saya, bagi manusia secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Saya ibaratkan hati kita adalah tanah penuh semak belukar, kacau balau, sementara hidayah seolah seperti pesawat terbang yang dikirimkan oleh Allah untuk mendarat di hati kita. para malaikaht yang membawa berkah, rahmat dan karuniaNya. Maka pada malam lailatul qadar, Allah akan mengirimkan seribu buah pesawat terbang untuk mendarat disana, kemudian malaikat akan menaburkan benih-benih iman, benih-benih takwa, benih-benih pengajaran Al Quran ke hati kita. Kita selanjutnya yang harus memupuk agar tumbuh subur berkembang dengan indahnya, membuahkan hasil dalam kehidupan nyata kita yaitu akhlak sebagaimana akhlak Rasulullah. Dalam kehidupan nyata kita sehari-hari.

Jadi yang harus kita lakukan adalah mempersiapkan diri, membuat landasan yang sanggup menerima seribu pesawat yang akan mendarat di hati kita. Kalau kita hanya mampu membuat landasan satu pesawat kecil, maka tidak akan mampu menerima pesawat besar, apalagi dua atau sepuluh pesawat besar bahkan seribu. Kalau kita tidak mempersiapkan diri, membuat landasan pesawat terbang di hati kita, Maka menjadi jelas dan sangat jelas kalau kita tidak akan mampu mendapatkan malam itu, karena landasannya untuk mendarat tidak ada, sehingga pesawat hanya berputar-putar di sekeliling kita. Maka mari kita buka lebar-lebar kati kita, mempersiapkan landasan pesawat seluas mungkin untuk menerima seribu pesawat terbang akan mendarat di hati kita..

Kalau saat ini kita hanya mampu membuat satu landasan yang hanya mampu menampung satu pesawat terbang, maka kitapun harus bersyukur, karena hal itu berarti kita telah mendapatkan pengajaran satu bulan dari Allah, yaitu bisa berupa benih ilmu, benih iman, benih takwa dari satu pesawat ini sudah sangat luar biasa, kita hanya perlu memupuk dan memelihara baik-baik sehingga berbuah nyata dalam kehidupan nyata kita, dalam realitas sehari-hari.. Semoga kita akan semakin baik dan semakin baik, sehingga suatu saat nanti, mampu menerima mendaratnya seribu buah pesawat terbang bersama seluruh malaikat untuk memberikan rahmat dan hidayah Allah, menyempurnakan jiwa, mengajarkan Al Quran yang benar kepada kita, sehingga kita mampu mendapatkan predikat sebagai "Sang Khalifah Allah di bumi" yang akan menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta.

Maka mudah dilihat seseorang yang telah mendapatkan malam lailatul qadar ini, ketika akhlaknya bertambah baik dan sempurna sebagaimana akhlak Rasulullah, maka dia telah mendapatkan malam tersebut secara keseluruhan. Kalau akhlaknya semakin membaik berarti sudah mendapatkan sebagian dari malam itu.

Semoga.

Tulisan ini hanyalah sebuah pemahaman pribadi, kalau bermanfaat bagi anda yang membaca itu hanyalah karena anda sendiri dan pemahaman yang diberikan Allah kepada anda. Kalau ini merupakan pemahaman yang salah, ini adalah mutlak kesalahan saya dalam mempersepsikan pemahaman mengenai malam lailatul qadar.

Ya, Allah, kutunggu pesawat-pesawat terbangmu singgah di hati, menebar rahmat dan karuniaMu, dalam dzikir dan doa.

Salam

Imam