12 Agustus 2010

Parlemen Burung " Attar " (3)

by Abdul Hadi Wm.


Meena Natarajan’s adaptation of the 12th century Sufi poem written by Farid-ud-Din Attar, CONFERENCE OF THE BIRDS is metaphorically maps out the journey of the human spirit in its quest for truth.The birds of the world take flight on a pilgrimage to find their celebrated king but the dangers and hardships encountered on the journey cause many of them to abandon their search. In the end the small number of birds that survive uncover a profound secret.



Burung-burung yang tak berdaya menyerupai ayam sekarat itu kemudian merasa putus asa. Demikian lama mereka menunggu jawaban. Tiba-tiba dalam sekejap mata pintu pun terbuka dan muncullah sang pengawal istana. Dipandangnya burung-burung itu, jumlah mereka tinggal tiga puluh ekor dari ribuan yang bersama-sama melakukan perjalanan. Pengawal berkata, “Dari manakah kalian datang, o burung-burung? Apa yang kalian lakukan di sini? Siapa saja nama kalian? Betapa sengsaranya kalian, di manakah rumah kalian? Apa yang bisa kalian kerjakan sebagai makhluk yang lemah di tempat ini?”
“Kami datang kemari”, ujar mereka “untuk menghadap raja kami Simurgh. Karena begitu rindu dan cintanya kami kepada baginda, beginilah akhirnya kami kebingungan dan pusing. Dulu ketika kami berangkat jumlah kami ribuan, dan kini kami hanya tinggal tiga puluh ekor. Kami tak yakin raja kami akan memperlakukan kami penuh penghinaan seperti ini, karena perjalanan yang kami tempuh demikian sukar dan penuh penderitaan.

Judul berbeda untuk cerita yang sama. Bukit Qaf tempat tinggal Simurgh, raja burung.

“Oh, tidak! Baginda harus menyambut dan menerima kami dengan penuh kasih sayang!” Pengawal menjawab, “O, burung-burung yang kebingungan dan kesulitan, apakah kau ada atau tidak, raja tetap ada dan abadi. Ribuan makhluk di dunia tak lebih dari semut di depan gapuranya, apalagi kalian. Kalian kemari tak membawa sesuatu apa pun, kecuali ratap tangis dan sedu sedan. Kembali sajalah kalian ke tempat kalian datang, o makhluk yang hina dina!”
Mendengar itu mereka terkulai dan heran. Setelah berpikir, mereka berkata lagi, “Apakah baginda akan menolak kami seraya menghina? Dan bilamana demikian memang sikap baginda, tak mungkinkah penghinaannya berubah jadi penghormatan?

Sejauh-jauh perjalanan hidup unggas Pingguin selain tak bisa terbang, siklus alam membatasi.

Majnun pernah berkata “Bila seluruh umat manusia di bumi ini menyanyikan puji-pujian bagiku, takkan kuterima; aku lebih suka penghinaan Leila. Sebuah penghinaan yang diberikan Leila bagiku jauh lebih baik dari ribuan pujian dari perempuan yang lain.”
“Cahaya kebesarannya telah tersingkap,” ujar sang pengawal. “Dan semua nyawa akan hangus. Bila roh sirna oleh ratusan dukacita, pahala apa yang akan diperoleh? Anugerah apa yang akan kalian terima dalam sekejap ini?” Terbakar oleh api cinta burung-burung itu berkata, “Bagaimana laron bisa mengelak dari nyala lilin apabila dia ingin menyatu dengan cahaya lilin? Sahabat yang kami cari pasti membuat kami senang bilamana kami dikabulkan berkumpul dengannya. Bila kini kami ditolak buat berjumpa, apalagi yang harus kami lakukan? Kami laksana laron yang ingin menyatu dengan nyala lilin. Kami mohon bukan lantaran dungu, karena tujuan kami adalah mensucikan diri, dan kami yakin ucapan kami ini akan membuat hatinya senang serta berterima kasih.

Bukankah baginda telah berkata, barangsiapa yang menyerahkan seluruh hatinya pada nyala apinya, takkan ada kesulitan merintangi dirinya?” Setelah pengawal selesai menguji ketabahan mereka, kemudian pintu terbuka. Sesaat mereka menyingkir ke samping. Kemudian seratus tabir satu persatu tersingkap, dan jelaslah tampak dunia baru terhampar di hadapan mereka.

Lukisan Persia abad ke 17, simbolisasi sufistik Attar: Bukit Qaf persemayaman Simurgh, pohon meranggas, liak-liuk sapuan kuas berherak dinamis, gaya ekspresionis, cahaya dan panas muncul dari api yang bergelora dengan intensitas warna tinggi ditingkah oleh warna-warni “picturesque”, bulu burung. Makna keceriaan setelah habis “terbakar”.

Cahaya dari segala cahaya bersinar terang dan duduklah mereka semua seraya tunduk di hadirat baginda yang mulia. Mereka memperoleh kalam buat mereka baca; dan setelah mereka membaca dan merenunginya dalam-dalam, barulah mereka paham keadaan yang sebenarnya. Hati mereka tenang dan damai, lepas dari segala kesulitan, dan setelah itu barulah mereka menyadari bahwa Simurgh tinggal bersama mereka. Kehidupan baru bersama Simurgh telah mereka kecap. Seluruh amal dan perbuatan mereka selama ini lenyap tak berbekas. Matahari kebesaran sang raja memancarkan sinarnya yang gilang-gemilang, dan tiap sinar memantulkan wajah mereka tiga puluh ekor banyaknya (= si-murgh) dari dunia luar yang telah terserap Simurgh yang bersemayam dalam diri mereka. Mereka merasa takjub, karena sebelumnya mereka tak menyangka bahwa mereka akan tetap sebagai diri mereka.

Hutan tropis, surga burung-burung tropis
Corak Batik Madura, mengusung pandangan hidup Sufi, lewat unsur stilasi bentuk Simurgh.

Akhirnya ketika mereka merenungi dalam-dalam, tahulah mereka bahwa merekalah Simurgh itu sendiri dan bahwa Simurgh artinya tiga puluh ekor burung. Ketika mereka menatap Simurgh mereka lihat bahwa Simurgh benar-benar yang ada dihadapan mereka, dan bilamana mereka mengalihkan mata, mereka sendiri adalah Simurgh. Dan bilamana keduanya saling memandang, diri mereka dan Dia, tahulah mereka bahwa mereka dan Simurgh adalah satu dan wujud yang sama jua. Hal ini tak pernah mereka dengar sebelumnya. Kemudian mereka tafakkur dan tak lama sesudah itu mereka mohon kepada Simurgh tanpa menggunakan lidah, agar mewahyukan kepada mereka rahasia kesatuan dan kepelbagaian wujud. Simurgh, pun tanpa mengucapkan sepatah kata, menjawab:

Burung-burung saling bercermin diri.

“Matahari kebesaranku adalah sebuah cermin. Dia yang melihat dirinya sendiri akan melihat jiwa dan tubuhnya, dan akan melihatnya dengan sempurna. Karna kalian datang sebanyak tigapuluh ekor, si-murgh, maka kalian akan melihat tigapuluh ekor burung dalam cermin ini. Bila empat puluh atau lima puluh ekor yang datang, yang akan kau lihat sama. Walaupun sekarang kalian benar-benar mengalami perubahan, kalian lihat diri kalian sendiri tetap sebagaimana diri kalian sebelum ini. “Dapatkah penglihatan seekor semut mencapai bintang Soraya yang jauh? Dapatkah serangga kecil ini mengangkat tempat pijaknya? Pernah kau lihat seekor nyamuk mengangkat seekor gajah dengan giginya?

Segala yang kau ketahui, segala yang telah kau lihat, segala yang telah kau sebut atau kau dengar, semua ini bukan itu lagi. Bilamana kalian telah menyeberangi lembah jalan kerohanian dan bilamana kalian telah memenuhi kewajiban dengan baik, maka kalian akan menjadi seperti ini berkat tindakanku; dan kalian sanggup melihat lembah hakikat dan kesempurnaanku. Kalian, yang jumlahnya tiga puluh ekor, takjub, tercengang dan kagum. Tetapi aku lebih dari tiga puluh ekor burung itu. Aku adalah hakekat yang sesungguhnya dari Simurgh yang sebenarnya. Leburkan diri kalian dengan bangga dan penuh sukacita ke dalam aku, dan di dalam aku kalian akan menemukan diri kalian.”
Setelah itu burung-burung itupun sirna buat selama-lamanya di dalam Simurgh – bayang-bayangnya musnah ditelan sang matahari, dan khatam. Apa yang kau dengar semua ini atau apa yang kau lihat dan kau ketahui bukan awal dari segala yang harus kau ketahui, dan puing-puing kehidupan di dunia ini bukanlah tempat tinggal yang harus kau rindukan.

Carilah batang pohon, dan jangan khawatir apakah cabang-cabangnya itu ada atau tidak. Ribuan generasi telah lewat. Burung-burung yang baka telah pasrah meleburkan dirinya dalam kefanaan. Tak seorang pun, tua atau muda, bisa menguraikan dengan tepat apa yang disebut baka dan mati itu. Seperti bilamana segala peristiwa jauh dari mata kita, bagaimana mungkin kita menguraikannya? Bila pembaca ingin penjelasan lebih jauh dengan amsal-amsal mengenai kebakaan yang terjadi setelah fana, aku akan menulis buku yang lain. Selama kita terbelenggu oleh benda-benda dunia, kita takkan sampai ke Jalan itu. Namun bilamana dunia tak lagi membelenggu, kau akan sampai seakan-akan memasuki dunia mimpi, dan akhirnya akan tahu bahwa kau mendapatkan rahmat yang tak terkira. Janin insan terpelihara dengan baik hanya oleh cinta dan kasih sayang sehingga kelak bisa menjadi orang yang pandai dan saleh.

Farid-ud-Din Attar (1142-1230) sastrawan
Sufi Persia masa Dinasti Khawarizmi (1170 – 1231). Di kota Nishapur, Iran ada patung kepalanya yang terlihat dirangkul burung.

Pengetahuan inilah yang harus dituntut orang. Kemudian ajal datang dan segala yang kau miliki lenyap, tenggelam. Sehabis itu kau jadi debu jalanan. Berkali-kali seseorang itu fana; tapi bila orang berhasil mengetahui rahasia-rahasia kehidupan yang hakiki, akhirnya ia akan menerima kebakaan, dan akan mendapatkan kehormatan dalam keadaan hina. Tahukan kau apa yang kau miliki? Masuklah ke dalam dirimu dan bercerminlah! Selama kau tak paham akan ketiadaanmu, dan selama kau tak menyadari kebanggaan semu, kesombongan dan cintamu yang berlebih-lebihan pada dirimu sendiri, selama itu pula kau takkan mencapai puncak kebakaan. Di Jalan itu kau akan terjerumus dalam kehinaan, namun kemudian kau akan bangun dengan dipenuhi kemuliaan dan kehormatan. (Selesai).

Tidak ada komentar: