20 Mei 2011

Mengapa Kita Bershalawat


Oleh : Arif Budi utomo

Pengantar Kajian :
Kajian ini masih satu rangkain dengan Kajian mengenai 'daya' yang bekerja kepada manusia. Merupakan bagaian ke dua dari tulisan Kompilasi Maha Daya.

Mengapa saya harus ber sholawat ?

Pertanyaan tersebut telah menyergah banyak orang. Bagaimanakah kejadiannya hingga kita di sunnahkan untuk selalu mendoakan keselamatan atas Nabi dan keturunannya ?!?. 
"Mengapa Nabi harus kita doakan untuk keselamatannya..?". 
Sebuah pertanyaan yang wajar atau malah kurang ajar..?. "Akankah Nabi tidak di selamatkan oleh Allah, sehingga perlu kita do’akan ..?. 
Kalau begitu..bagaimana dengan saya yang berlumuran dosa seperti ini ...?. 
Jangankan berdoa untuk keselamatan Nabi, berdoa untuk keselamatan diri sendiri pun rasanya saya kurang banyak. ?!?". 
Sambil menggerutu akhirnya kita, 'dengan enggan' mengikuti perintah untuk ber sholawat. Begitu nampaknya ...?!?.

              Banyak sekali umat muslim yang gamang untuk menanyakan ini. Semua cenderung diam, mencoba mengerti, mencoba tidak perlu bertanya, memahami dan berusaha menyadari sebagai sebuah ketentuan sebuah 'pakem' ajuaran agama. Maka maklum saja, jika akhirnya semua menerima begitu saja, sebagai suatu keharusan. Sebagai suatu kewajiban yang di sunnahkan. Menerima saja memang sudah dari leluhur, ulama dan nenek moyang kita dahulu adanya begitu.
"Ya sudahlah ... jikalau memang sudah di ajarkannya begitu ... mau diapakan lagi ... !".
Dan kemudian menjadi hal nyleneh, jika ada seseorang yang masih mempertanyakan 'mengapa ber sholawat ...'. "Nganeh-nganehi saja .." Kata orang begitu.


              Kekakuan dalam memahami perintah agama serta kelemahan logika ber fikir kita dalam pemahaman 'sholawat' ini telah dengan jeli di bidik oleh sebagian orang yang tidak menyukai Islam. Mereka mampu melihat ada kisi kekosongan dalam teologi Islam, Sebuah ruang kosong dalam memahami hakikat shalawat atas nabi. Tak aneh, jika kemudian mereka mulai melancarkan aksi dan strategy, hanya cukup dengan memutar balikan premis mayor dan premis minornya saja maka kita pun jadi tergopoh gop[oh jadinya. Dalam sebuah konsep bangun silogisme.

              Baik kita kaji; Bagaimanakah ketika sebuah pernyataan atas 'sholawat' kemudian di plintir menjadi seolah-olah nabi sangat membutuhkan doa-doa dari umatnya untuk menyelamatkan dirinya dan keluarganya..?!?. Maka bagaimana penjelasannya jika ada pernyataan ; 
              "Mestikah seorang Nabi masih meminta di doakan umatnya agar selamat..?". "
               Adakah nabi lain selain Muhammad yang seperti itu.?". 
               Dilanjutkan pertanyaan. "Jikalau seorang Nabi masih memerlukan doa umatnya, maka apakah kita tidak selayaknya jika meragukan ke-nabiannya.sebab jika nabi saja tidak dapat menjamin dirinya selamat., bagaimana nabi bisa menjamin keselamatan umatnya". 
 Astagfirullah al 'adzhiem. !.

              Pernyataan dan pertanyaan model silogisme ini, telah meracuni generasi muda Islam terkini. Gelombang pemikiran 'menggugat' model seperti itu, telah meluas dan tersebar di jejaring sosial. Sungguh ... banyak dari kita kecolongan. Ketika pemahaman shalawat di benturkan dengan sebuah konsep, "Yesus Kristus itu Juru Selamat, si penebus dosa manusia, yang mengorbankan dirinya demi menebus dosa manusia demi keselamatan umat manusia". 
               Bagaimana dengan Islam. Nah ...saya menjadi 'ter bengong-bengong'. Oh...

               Memang dapat kita rasakan, seakan-akan, jika kedua pernyataan tersebut di sandingkan, di benturkan, kita akan merasakan 'pengkondisian' bahwa konsep sholawat adalah sebuah konsep yang 'egois'. Seorang nabi yang menyuruh umatnya berdoa, demi untuk keselamatan dirinya sendiri. Benarkah..?. Wow..

               Ditambah dengan gambaran fakta di lapangan; adanya 'ulah' 'arogansi' sebagian golongan Islam, yang memaksakan 'kebenaran' dirinya kepada golongan lainnya juga antar sesama umat Islam yang juga saling kafir meng-kafirkan. Maka lengkap sudah jika umat Islam di cap sebagai agama umat yang 'Super Egois !'.

               Kemudian bagamanakah dampaknya, jika generasi muda di bombardir dengan pemikiran dan bahasa-bahasa 'silogisme' tersebut. Maka sangat wajar jika kita dapati, sebagian generasi muda Islam yang sedang mengalami dis-orientasi, yang memahami persoalan dengan cara linear saja; jika mereka kemudian terpengaruh dan menjadi galau.
                Salah seorang siswa SMA di kota kecil mewartakan kejadian ini. Sejumlah teman-temannya, telah berganti akidah, setelah berinteraksi intens dengan kelompok tersebut melalui facebook. Fakta yang mesti kita sikapi dengan kearifan mendalam. Tamparan bagi Islam, bahwa sebagian generasi mudanya telah berhasil di jungkir balikkan konsep dan cara berpikir mereka, di jebak ke dalam sebuah konsep berfikir linear. Melalui pemahaman 'shalawat' model 'silogisme' mereka. Subhanallah.

              Maka marilah kita masuki permasalahan dan kajian, benarkah : Jika konsep Shalawat di sandingkan dengan konsep Juru Selamat. ?

               Sebagaimana per misal konsep Agama yang Egois melawan konsep Agama Kasih. Konsep Egoisme melawan konsep Rela berkorban (pengorbanan). Kemudian pertanyaan mengembang; Benarkah shalawat hanya bermanfaat kepada nabi dan keturunannya saja. Apakah kita tidak mendapatkan manfaat langsung yang dapat kita rasakan di badan jikalau kita ber shalawat..?. 
Agama Islam adalah agama yang benar. Namun bagaimanakah kita mampu menunjukan dimanakah 'kebenaran sholawat' itu..?. Dalam bingkai logika berfikir manusia. Dan mendudukannya dalam keyakinan kita..?. Sehingga munculah generasi muda Islam yang kritis, kuat dalam analogi dan logika berfikirnya, serta kokoh dalam ke Imanan mereka. Mampukah kita meng-kaji nya. Layaknya memang baiknya kita coba saja dalam tulisan bersambung berikutnya. Insyaallah.

               Ada fenomena yang diteliti Prof Masaru Emoto, yang kemudian dipopulerkan Aa Gym pada sekitar 7 tahun yl, bahwa molekul air "didoakan" atau dimaki-maki, molekul tsb berubah.

               Sepanjang yang saya ketahui, itu karena "energi" pikiran kita (dari prinsip-prinsip Quantum Physics), yang kalau diterjemahkan dalam "manusia", bahwa "thought is motion energy".
(saya pernah mengirimkan beberapa artikel disebuah  milis  tahun 1996 saat puasa yl ttg hal ini)

              Ini menjawab pertanyaan ttg adanya santet (energi negatif yang dikirimkan), "restu" para kiai yang membuat"selamat", doa nabi-nabi, dll (doa=energi yang bergerak). Hanya saja, ilmu pengetahuan belum bisa membuktikan secara pasti, tidak dapat diukur secara pasti berapa besarannya (hanya fenomena empiris oleh Prof Emoto).

Jadi, Rasulullah juga mempunya energi quantum (kita semua juga punya), bedanya, energi Rasullullah sangat positif besar.

             Bila kita "kirim" sholawat (doa=energi) ke Nabi kita, maka energi ini "terpantul" kembali dengan power yang lebih besar dari energi yang kita kirim ini, besarnya mungkin berlipat ganda. Ini menurut saya adalah bantuan ("syafaat"). Syafaat tidak hanya nanti di akhirat, tapi diduniapun bisa kita peroleh (kemudahan hidup dll).

Pertanyaan berikutnya, bagaimana agar doa/sholawat kita "sampai" ke Rasulullah? Ini tentu penelitian/kajian lain.....

Justru "shalawat " inilah yang hanya ada di Islam (apakah ada di agama lain? Sy tidak tahu)...!. 
Rasullulah adalah rahmatan lil alamin. Nabi tentu saja tidak "memerlukan" ("bantuan") doa kita, tetapi justru memberikan kesempatan untuk kita agar "dibantu" Nabi. Inilah hebatnya islam. 
Apakah kita sudah "membuktikan" dahsyatnya shalawat ini? Bagaimana "teknik" sholawat yang "ampuh"? 
Inilah yang semestinya kita cari. Islam adalah benar, hanya saja kitalah yang belum "membuktikan" kebenarannya (mungkin baru "sebagian" yang berhasil kita buktikan).
Jiwa berada dalam raga manusia; terjebak di dalam medan gaya materi yang di timbulkan system ketubuhan manusia itu sendiri. Jiwa senantiaasa merasakan, energy ketubuhan yang di bangun oleh arus induksi dari proses bekerja nya dua kutub atau lebih medan magnet yang bekerja pada dirinya; adalah medan gaya materi-materi yang bekerja pada system ketubuhan manusia. Maka jika jiwa ingin lepas; ingin meluas seluas alam semesta ; jiwa harus meniadakan gaya-gaya yang bekerja pada dirinya. F harus sama dengan 0.

Medan gaya materi menyebabkan kesakitan, keresahan, dan lain sebagainya. Sebab Jiwa jauh dari sumber energy sesungguhnya, jiwa tidak mendapatkan daya dari nur Illahi.
Jiwa yang dapat melepaskan dirinya dari medan gaya yang membelenggunya akan mendapatkan ketenangan luar biasa, karena dia telah mendapatkan akses kepada tempat asalnya. Untuk meniadakan gaya tersebut. 
           
          Agama-agama tertua di dunia memiliki methode, yang hampir mendekati persamaan. Menghadapkan jiwanya kepada sesuatu Dzat yang tidak memiliki energy, tidak memiliki medan listrik, tidak memiliki muatan, atau apapun yang bisa disebut oleh manusia. Adalah Dzat yang Maha Suci, Maha besar, dan lain sebagainya. Dzat itu di kenal dengan banyak sekali sebutan oleh manusia. Dalam teology Islam Dzat tersebut menamakan dirinya Allah.

           Dewasa ini mendapati beberapa methode, meditasi, bertapa, puasa, dan lain sebagainya, yang kesemuanya di maksudkan untuk melatih jiwa kita menghadapkan diri, kepada suatu Dzat yang di maksudkan tadi. Kesalahan dalam menghadapkan Jiwa kepada Dzat yang benar, akan menghasilkan daya yang salah yang akan mempengaruhi kepada system ketubuhan manusia tersebut, yang pada gilirannya akan memberikan ciri kepada raut muka manusia tersebut. Maka kemudian kita dapati raut muka, aura, yang berlainan dari satu manusia ke manusia lainnya. Dan lain sebagainya, yang kesemuanya dapat menunjukan ciri masing-masing keyakinan manusia-manusia tersebut. Namun sayang kita memerlukan penelitian lebih lanjut, data empiris masih sangat sulit di dapatkan dalam hal ini. Sebab hanya manusia tersebut yang tahu kepada siapa dia menghadapkan dirinya.

               Bagaimana ciri manusia yang telah menghadapkan dirinya kepada Dzat yang di maksud tersebut dengan benar (Allah).?. Maka beruntunglah umat muslim, karena mendapatkan contoh nyata pada diri Rosululloh. Maka bagi manusia yang mengaku muslim wajib untuk mengetahui ciri tersebut seperti apa !. Bagaimana akhlaknya, bagaimana dia ber sosialisasi, bagaimana dia ber muamalah, bagaimana dia memimpin, bagaimana dia menjadi suami, menjadi ayah, dan lain sebagainya. Sungguh lengkap sekali teladan yang dapat kita ambil dari diri Rosululloh. Dengan mengenal diri Rosulullah, berarti kita mengenal diri kita sendiri. Sehingga kita akan mampu merasakan daya yang benar dari hasil yang kita dapat rasakan dalam kehidupan sehari hari. Kita menjadi yakin, menjadi lembut, halus, tidak takut terhadap apapun, tidak takut terhadap rejeki, tidak takut terhadap debt collector, dan lain sebagainya, dan lain sebagainya. Semua dapat kita lihat dalam ajaran dan sunnah-sunnah Rosul.

             Allah telah memberikan pengajaran yang sempurna kepada diri Rosulullah, untuk diterukan  kepada seluruh umat manusia, Seluruh umat muslim di dunia ini, di minta untuk menjadikan diri Rosulullah teladan bagi dirinya. Di harapkan akan mampu menjadikan diri Rasulullah sebagai panutan, Bagaimana seorang manusia itu  belajar yang baik dan benar ?. Rasulullah adalah contoh manusia yang di selamatkan.

              Allah sendiri ber-sholawat atas Rasul, Allah sendiri yang mengkhabarkan kepada kita siapa manusia yang paling sempurna, Manusia yang akan di selamatkan dengan rahmatNya. Bagaimana system ketubuhan manusia yang paling sempurna ini?. Jika manusia ingin sebagaimana manusia yang diinginkan oleh Penciptanya maka manusia tersebut harus senantiasa, melihat, mencontoh, mengenal, mencintai, men-duplikasikan dirinya agar senantiasa sama dengan teladan yang di berikan Rasululah. 
              Islam mengajarkan bagaimana cara yang sederhana agar kita mampu menduplikasi dirinya agar mendekati diri Rosul yaitu hanya dengan Ber – Shalawat. Sangat sederhana dan simple sekali. Kenapa manusia mencari hal-hal lain yang sulit-sulit ?. Sungguh kasihan sekali. ?!?.

             Manusia yang sering ber shalawat atas Nabi, maka telah mengarahkan dirinya, mengarahkan jiwa nya, ber hadapan terus kepada 'sejatinya manusia'. Manusia paripurna yang di kondisikan sebagai panutan umat manusia oleh Tuhan semesta alam ini. Sehingga dengan analogi hukum coulomb di muka, ketika diri manusia di hadapkan kepada suatu 'muatan' (q) yang sempurna, maka F (gaya) menjadi sama dengan 0. Jika F (gaya) sama dengan 0, maka Jiwa akan mampu lepas, Ada Resultan gaya yang membantunya mendobrak 'medan gaya' yang membelenggu jiwanya. (Di karenakan ada bantuan daya dorong atau Resultan gaya dari diri Rosululloh yang berada di alam raya ini).
              Manusia sejatinya adalah 'benda yang bermuatan listrik', di dalamnya terdapat daya hidup yang merasakan daya-daya apa yang bekerja pada system ketubuhannya. Daya hidup tersebut sering di sebut sebagai Ruh/Jiwa. Ketika daya hidup tersebut mengaliri diri manusia tersebut, ketika pada system ketubuhan manusia hanya bermuatan daya materi maka Jiwa 'daya hidup' tersebut, kehilangan 'energy'-nya, yang lama kelamaaan akan mati. Tidak mampu merasakan apa-apa, hatinya telah mati, dan  membatu. 
              Kenapakah kita tidak ber shalawat, agar hati/jiwa kita menjadi hidup.?
              Dalam diri Rasul terdapat daya yang sangat luar biasa, Yang akan mampu memberikan daya dorong (Resultan) agar Jiwa manusia mampu lepas dari medan gaya materi yang mengungkungi dan membelenggu dirinya. Maka kenapa kita tidak menggunakan cara yang termudah saja. Mengapa manusia lebih memilih bertapa..?. Memilih tempat-tempat angker..?. Sungguh membingungkan..?.

              Sekarang kita dapat  mengerti, kenapa kita di sunnahkan untuk ber shalawat. Ber-shalawat adalah untuk kebaikan diri kita sendiri. Bagi manusia yang menginginkan kehidupan dunia dan akherat yang lebih baik. Dengan cara yang mudah lagi sederhana. MAKA SEBAIKNYA DIA BER SHOLAWAT.
               
             Nah…kalau begitu , apakah ada yang berani mengatakan bahwa 'Islam adalah egois..?'. Nah…kalau begitu apakah anda mampu menyimpulkan sendiri; Bagaimana konsep sholawat jika di sandingkan dengan konsep 'juru selamat'. ?!?.

Wallahualam bisshawab.

Tidak ada komentar: